Selasa, 30 Juni 2009

Syukur

Pagi ini saya tanpa sengaja menyimak lagu "Syukur" yang dikumandangkan pegawai Bank Indonesia dalam rangka HUT-nya yang ke 56. Saya tiba-tiba merinding. Sentimentalitas saya mendadak muncul: apa yang bisa saya sumbangkan buat bangsa yang brengsek ini? Acara meliput saya pagi itu mendadak jadi mengharukan, pasalnya pikiran saya diganggu pertanyaan sentimental di atas. Kau tahu, pertayaan ini terinspirasi ungkapannya John F Kennedy: Jangan bertanya apa yang bisa saya ambil dari bangsa ini, melainkan apa yang bisa saya sumbangkan bagi bangsa ini. Nah kan...

Untunglah beberapa menit kemudian, seseorang mengaku bernama Sunlie Thomas Alexander, menelpon saya. Meminta saya mengirimkan alamat, baik rumah maupun elektronik. "Untuk mengirim undangan Temu Sastra Indonesia," dia bilang.

Saya ingat, saya pernah mengirim sejumlah naskah untuk acara yang bakal digelar di Bangka tersebut.

Rabu, 17 Juni 2009

Ketika Novelis Menindas Sutradara

Sebelum membeli karcis, bahkan sebelum film ini diproduksi, yakni saat aku menghadiri press conference persiapan pembuatan film ini di Hotel Sultan entah berapa bulan yang lalu—waktu itu aku datang sebagai wartawan sebuah tabloid hiburan, aku sudah pesimis “Ketika Cinta Bertasbih” bakal menjadi film yang layak tonton. Tapi entah mengapa sore itu, sepulang dari sebuah pertemuan kecil dengan dua orang kawan di Tangerang, nekat membeli karcis, menunggu beberapa lama sebelum masuk ruangan remang dengan gelisah, dan menghenyakkan bokong di sofa pojok studio 21 pusat kota itu. Ternyata dugaanku tidak melenceng sama sekali. Film ini digarap semata lantaran kelatahan atas larisnya “Ayat Ayat Cinta”.

Film yang diangkat dari sebuah novel yang konon mega best seller se-Asia Tenggara itu, sungguh-sungguh buruk dan hanya pantas menjadi tayangan sinetron. Taburan bintang senior dan digarap penulis skenario dan sutradara kawakan memang bukan jaminan sebuah film akan bagus. Kau tak akan mendapat secuil pencerahan apa pun dari serentetan adegan yang konon diambil di Mesir. Habiburahman, si penulis novel yang juga ikut main di film ini, terlalu ngotot menjadikan filmnya sejalan dengan novelnya. Celakanya sang sutradara yang telah gaek itu, Chaerul Umam, tampaknya manut saja pada kemauan pengarang novel. Sehingga tak ada kreatifitas yang dilakukannya selain memindahkan teks ke dalam gambar. Aku tak perlu memaparkan betapa hampir semua dialog tokoh-tokohnya berlangsung secara wagu; pengadeganan yang usang dan memaksa; plot yang datar dengan sebab akibat yang menggelikan. Tak ada gambar-gambar yang indah, apa lagi keharuan yang membuncah.

Kurasa Habiburahman telah menindas dengan semena-mena sang sutradara yang terdaya lantaran usia yang telah sepuh. Tak mampu membaca perkembangan bahasa film yang disukai generasi masa kini.

Semuanya memang berawal dari logika cerita film ini yang mengada-ada. Jadi kau tak bisa menyalahkan para pemainnya jika mereka bermain kaku dan membosankan! Plot film ini mengingatkanmu pada drama-drama film India: si miskin bersanding dengan si glamour. Bedanya, jika di film-film India kau menemui tokoh antagonis dan protagonis, maka di film ini semua tokohnya protagonis. Semuanya baik, tidak boleh ada yang ‘jahat’. Karena jahat itu dilarang oleh Qur’an dan kalau mati masuk neraka. Apakah ini salah? Tentu tak ada yang salah. Toh semua orang berhak menjalankan pilihannya, dan kau harus menghormati pilihan yang berbeda. Seperti kata Azzam si tokoh utama,

“Setiap orang mempunyai prinsip. Dan prinsip saya bersandar pada keyakinan saya, Qur’an dan Hadits.” (mudah-mudahan saya tak salah mengutip)
Tapi siapa yang bertanggung jawab jika aku kecewa menontonnya? Negeri ini memang masih tidak mempercayai kreatifitas anak muda. Sikap yang telah terbukti menjadi biang dari kekecewaan demi kekecewaan selama puluhan tahun perjalanan bangsa ini. Hanung Bramantyo, anak muda itu, jauh lebih berhasil manakala dia menerjemahkan ‘Ayat-Ayat Cinta’ ke dalam film. Demikian pula saat membahasakan ‘Perempuan Berkaling Sorban’ ke atas layar. Hanung melakukan kerja-kerja penafsiran atas dua novel tersebut saat dituang ke bahasa gambar. Itulah kerja seorang sutradara. Bukan persoalan jika pengarang novelnya ‘ngambek’ gara-gara itu. Bukankah sebuah karya ketika dilempar ke publik menjadi milik pembaca? Dan setiap pembaca punya imajinasi sendiri untuk menafsirkan teks yang dibacanya. Maka itu wahai novelis, janganlah sombong dan menindas sutradara.

Jumat, 05 Juni 2009

Di Cidahu, di Cidahu, Kami berburu



Kami duduk di melingkar di lembah, seberang sungai yang mengalir dari air terjun.
Kami menghirup oksigen sepuasnya.



Menghirup wangi tanah dan harum daun-daun. Menyimak gemericik air dan desau angin...semoga kami bahagia

Kamis, 04 Juni 2009

Tiga Novel Menafsir Tragedi Bubat



Apakah sejarah? Ia terbuat dari waktu dan peristiwa yang telah berlalu. Tapi ia tidak akan hadir di hadapanmu tanpa kepentingan penguasa yang menuliskanya. Sejarah bukan milik rakyat jelata. Pernahkah kau menemukan mereka, rakyat jelata, dalam buku-buku sejarah yang kaubaca? Jika pun ada maka kemunculannya hanya untuk melengkapi si tokoh utama yang kausebut pahlawan, mungkin juga pecundang.

Pikiran ini mungkin akan menghantui ketika kalian membaca novel “Dyah Pitaloka”, “Niskala”, (keduanya karya Hermawan Aksan), dan “Perang Bubat” karya Ade Merdeka Permana. Ketiga novel ini mengambil latar sejarah yang sama tentang Tragedi Perang Bubat, peristiwa yang disebut-sebut sebagai muasal terjadinya konflik Jawa Sunda.



Meskipun ketiga novel ini mengangkat kisah berdasar latar sejarah yang sama, namun kalian akan segera mendapati kisah yang berbeda satu sama lain. Dua novel pertama, bertutur secara lurus dan bersetia dengan apa yang kalian sebut sejarah resmi. Dikisahkan Ratna Citraresmi Dyah Pitaloka—yang lebih populer dengan nama Dyah Pitaloka, perempuan Sunda, putri Prabu Maharaja Linggabuana, raja Kerajaan Sunda terbesar pada 1350-1357 Masehi, harus bunuh diri demi harga diri rakyat kerajaan Sunda di palagan Bubat.

Dyah Pitaloka hadir sebagai perempuan, dalam usianya yang masih belia, punya pikiran ingin menggugat dominasi laki-laki, ketertindasan perempuan dalam perjalanan sejarah kekuasaan raja-raja Sunda. Namun dia bukan sosok yang mampu melakukan perlawanan. Gugatan ini berlangsung hanya dalam keluh dan gumam kepada pamanda Bunisora manakala sang ayahanda menerima pinangan Hayam Wuruk atas putri Sunda nan jelita tersebut. Ia tak kuasa menolak ketika sang ayahanda bersama rombongan kerajaan Sunda membawanya ke negeri Jawa untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Pernikahan itu memang tak pernah terjadi dan berbalik menjadi sebuah tragedi yang meninggalkan jejak panjang dalam ingatan orang Jawa dan Sunda..

Pengkhianatan Patih Gajahmada membatalkan pernikahan agung yang akan menyatukan dua kekuatan besar di tanah Jawa Dwipantara. Sang Patih membelokkan rencana Raja Hayam Wuruk yang bergelar Sri Maharaja Rajasanagara Jayawisnuwardana, dengan memperlakukan rombongan kerajaan Sunda sebagai pengantar upeti dan menjadikan Sang Putri Jelita sebagai upeti yang menandai takluknya negeri Sunda kepada dominasi Majapahit. Inilah yang menjadi pemicu sang putri memilih mengakhiri hidupnya dengan sebilah tusuk konde untuk menjunjung kehormatan negeri Sunda.



Enam tahun kemudian (dalam “Niskala” novel kedua) Pangeran Niskala Wastu Kancana atawa Anggalarang melakukan perjalanan ke Majapahit memburu Sang Maha Patih Gajah Mada yang menjadi otak tragedi Bubat, untuk membalas dendam. Lihatlah, betapa setianya Hermawan Aksan kepada sejarah resmi yang dirujuk novelnya. Dengan plot yang linear—karenanya bisa ditebak— dan penceritaan yang mengingatkan kalian pada adegan-adegan dalam cerita silat dan film laga kita, kalian akan dibawa pada sejarah masa silam yang mengasyikkan. Sensasi dramatik, ketegangan yang tetap terjaga serta rasa penasaran yang terus menguntit sepanjang cerita. Sehingga novel berketebalan 289 ini terasa begitu singkat.

Tidak bisa tidak, kalian akan merasakan pengarang novel ini agak tergesa untuk segera menyelesaikan cerita. Padahal perjalanan dan petualangan Anggalarang dari tanah Sunda sampai bertemu dengan Gajah Mada— yang ternyata telah jadi pertapa lantaran umur yang uzur, cerita bisa jadi ratusan halaman lagi. Tapi sayang, Hermawan tampaknya kelelahan untuk mengeksplorasi perjalanan dan petualangan Anggalarang yang sebenarnya berpotensi menjadikan novel ini lebih tebal dan dramatik. Bisa jadi ini lantaran Hermawan enggan ‘berkhianat’ kepada sejarah resmi tadi.

Dan inilah yang tampaknya secara sadar dihindari oleh Aan Merdeka Permana dalam “Perang Bubat”, novel ketiga yang tengah kalian gunjingkan ini. Aan menampilkan cerita dan membangun karakter tokoh-tokohnya secara ‘melenceng’ dari sejarah resmi. Jika Hermawan menampilkan Gajah Mada sebagai sosok antagonis yang pantas dihujat, maka Aan kebalikannya. Di tangan Aan Gajah Mada berubah menjadi sosok yang pantas diberi simpati lantaran sifat kenegarawanannya. Demi menghindari peperangan besar antara kerajaan Sunda dan Kerjaan Jawa, serta menjaga nama baik Majapahit, Gajah Mada rela dijadikan kambing hitam atas tragedi Perang Bubat.

Gajah Mada memilih pergi dari lingkaran kekuasaan keraton Majapahit dan kembali ke muasalnya menjadi orang biasa. Dia menjadi pejalan sunyi yang terus menerus dihantui kebimbangan akan sepak terjangnya, terutama Sumpah Amukti Palapa yang telah memakan dia sendiri sebagai korban. Tragedi Bubat terjadi tidak sesederhana sebagaimana yang ditulis dalam sejarah resmi, melainkan akibat intrik politik yang rumit di lingkaran keraton Majapahit.

Sedari awal Aan memang memaklumkan bahwa novelnya bukan novel sejarah. Sekalipun mengambil latar dari sejarah Tragedi Bubat, tapi Aan secara tekun menggali sumber lain dan melakukan tafsir lain atas sejarah yang dirujuknya. Sebagai pembaca sastra, seperti dikatakan Saini KM, inilah yang membuat kalian lebih terhanyut. Ini pula yang akan membuat kalian menemukan plot yang meliuk-liuk, tak terduga, dengan ungkapan filosofis yang berhamburan di sana sini. Bayangkan, Dyah Pitaloka ingin menggugat keputusan ayahandanya yang menerima pinangan Hayam Wuruk, bukan didorong oleh kesadaran penindasan jender melainkan karena dia terlibat perasaan cinta dengan Gajah Mada, lelaki dari kalangan biasa yang pernah bekerja sebagai desainer di lingkungan keraton Kawali.

Gajah Mada bernama asli Ma Hong Foe, orang Banten keturunan Cina. Dia bertolak ke negeri Wilwatikta dan menjadi Maha Patih di sana setelah lamarannya untuk mengabdi sebagai prajurit di lingkungan keraton Kawali ditolak oleh ayahanda Dyah Pitaloka lantaran dianggap tidak memiliki asal usul yang jelas. Dan Dyah Pitaloka tidak harus mati bunuh diri di palagan Bubat demi harga diri, melainkan cukup moksa di dalam bilik kapal yang masih tertambat di Muara Jetis. Tentu akan banyak tafsir lain atas peristiwa sejarah yang sama. Kalian mau menuliskannya?

Senin, 01 Juni 2009

Tentang Buku “Lagu Cinta untuk Tuhan”, dan Harapan…



Buku-buku baru terus berhamburan saban aku ke toko buku. Konon, (aku tak tahu pasti karena belum pernah menanyakan hal ini pada petugas toko buku) setiap buku dijatah tidak lebih dari tiga bulan di-display di rak toko buku. Lebih dari itu ia harus segera ditarik karena buku-buku yang lebih baru menuggu giliran dipajang. Kecuali buku yang diburu pembeli, dan mengalami cetak ulang berkali-kali.

Paling lama saban pekan aku memang berkunjung ke toko buku. Kadang hanya untuk melihat-lihat buku baru, membaca majalah, dan membelinya jika menarik. Melihat begitu banyaknya buku bikin aku lupa betapa aku pernah menerbitkan buku (kumpulan cerpen). Tahun berapa ya? Oh, aku harus membukanya kembali. Rupanya pertengahan 2005, oleh sebuah penerbit di Jogjakarta bernama Logung Pustaka. Terus terang, aku memang hampir melupakan buku tersebut. Bisa dibayangkan, bagaimana orang lain mengenangnya jika pengarangnya saja hampir lupa bukunya pernah terbit. Tapi aku tak mungkin lupa pada satu nama: Binhad Nurrohmat, dialah yang mendorongku untuk mengirimkan manuskrip kumpulan cerpenku pada Arief Fauzi MS, pemilik Logung Pustaka. Penyair yang sempat memicu kontroversi lantaran sajak-sajak erotiknya itu pula yang mempertemukanku dengan Arief di rumah sekaligus kantor Logung Pustaka di Maguo, Jogjakarta.

Kami naik kereta api ekonomi dari Stasiun Senen menuju Jogja bersama rombongan mahasiswa yang akan menghadiri sebuah seminar kepemudaan di kota itu. Seingatku Ramadhan 4025 Hijriah waktu itu. Di kota itu pula pertama kalinya aku jumpa dengan esais Imam Muhtarom, dan penyair W Haryanto, dari Surabaya.

“Lagu Cinta untuk Tuhan” demikian buku kumpulan cerpen itu diberi judul, sempat diluncurkan di dua tempat, Balai Budaya Tangerang, dan di Universitas Tirtayasa Serang, Banten. Wan Anwar dan Martin Aleida menjadi pembicara di Balai Budaya. Makalah yang ditulis Martin lantas dimuat di Republika setahun berikutnya. Di Serang Herwan FR yang membedah. Harian Jawa Pos sempat pula memuat resensinya.

Ada beberapa sms dari pembaca yang masuk ke ponselku. Ada juga surat, baik lewat pos maupun email. Mulai dari Padang, Lampung, Jogjakarta, Bandung, , Jakarta, Jember, dan beberapa kota kecil lain. Jujur, ini merupakan surprise buatku. Rupanya lumayan juga respons pembaca. Yang lebih surprise respons yang kuterima dari seorang mahasiswa Universitas Negeri Jember, bernama David Zeus.

Dia mengaku sangat terkesan dengan cerpen “Lagu Cinta untuk Tuhan” yang berkisah tentang transjender. Dia terkesan lantaran temanya yang menyinggung ‘dunia’nya. Dia mengaku seorang gigolo dengan client lintas jender.

“Saya seorang gigolo, Mas” ujarnya lewat ponsel. “Ajaib sekali saya bisa bicara langsung dengan pengarang cerpen ini,” akunya, sangat berlebihan. Yang mengejutkan, dia secara terus terang ingin melakukan hubungan seks denganku. “Dari dulu saya pengin bermain seks dengan pengarang,” dia bilang.
Dengan buku itu pula aku melamar dan diterima menjadi wartawan tabloid hiburan di Jakarta, 2007 silam.

Hampir lima tahun sejak buku itu terbit, belum ada lagi penerbit yang bersedia menerbitkan bukuku. Ya, siapalah aku? Pengarang picisan! Ada memang seorang kawan di Jakarta yang menawariku menerbitkan kumpulan cerpenku. Hanya saja dia meminta aku turut menanggung separuh pembiayaan. Kini aku tengah mempertimbangkannya. Aku berharap sebelum buku kumpulan cerpenku yang kedua terbit, lebih dulu novelku. Seorang kawan hangat menjanjikan akan membantu menerbitkan novelku. Sayangnya sampai saat ini novel yang kutulis sejak pertengahan tahun lalu belum juga rampung.