Senin, 25 Januari 2010

Impian Itu Indah, Mewujudkannya Itu Menyakitkan.

Jangan pernah takut untuk bermimpi. Ini pesan mulia film “Menebus Impian”. Pesan yang kelewat klise, bukan? Biarlah. Toh, tidak ada yang betul-betul baru di muka bumi ini. Mungkin demikian jawaban Hanung Bramantyo, sang sutradara.

Saya agaknya sepakat dengan Hanung. Lagi pula klise tidak selalu buruk. Dan, Puji Tuhan, film yang bakal tayang di bioskop pada April 2010 ini memang tidak buruk-buruk amat. Malah cenderung bagus. Saya suka pencahayaan film ini yang suram (dan agak-agak vintage, gitu) meski hampir-hampir meletihkan mata tapi jadi terkesan sangat riil (ditambah saya nontonnya memang versi DVD, dengan sound yang sangat tidak menawan. Makanya saya tidak akan menyinggung soal tata suara). Setting-nya di kawasan kumuh Jakarta. Kalau bukan Jakarta Barat, tentulah Jakarta Utara. Atau bisa juga Jakarta Timur. Di seluruh wilayah Jakarta ini selalu ada kawasan kumuh, bukan? Gang-gang sempit, got-got mampet, pelacur-pelacur murahan, ibu-ibu yang doyannya ngerumpi dan sesekali bertengkar, pencopet, bocah-bocah dekil.

Tokoh utama Nur Kemala (diperankan secara hampir mulus oleh Acha Septriasa) dan ibunya, Sekar (Dyah Ayu Pasha) tinggal di kawasan tersebut. Di sebuah rumah kontarakan sempit ujung gang yang sudah tentu sumpek. Sekar bekerja sebagai tukang cuci, atawa kerennya laundry. Sekalipun cuma tukang cuci, sakit-sakitan pula, Sekar ingin Nur tetap kuliah. Dia marah manakala mengetahui Nur malah pulang babak belur lantaran turut mengejar rampok yang nekat nodong kios warnet di siang bolong.

Biaya kuliah yang tak terbayar mendorong Nur mencari kerja sambil kuliah. Hanya, bisa ditebak, susahnya cari kerja sambil kuliah membuat Nur keluar dari bangku kuliah (Nur bilang cuti). Dia bekerja jadi pelayan di pub atas bantuan Mba Susi, pekerja malam yang tinggal sebelah rumah. Satu hari di warung langganannya Nur bertemu bertemu Dian (Fedi Nuril) yang menawarinya bisnis multi level marketing (MLM). Awalnya Nur menolak mentah-mentah ditawari bisnis ini. Tapi kesukaran mencari kerja akhirnya Nur mencoba. Maka latar belakang Nur mau mencoba terjun di bisnis ini jadi sangat-sangat logis.

Film ini mampu menggambarkan betapa sukarnya berjuang mencari anggota baru bisnis MLM. Bahkan kendati film ini bekerja sama dengan sebuah organisasi MLM, tapi tak terlihat mempromosikan kisah merdunya menjadi pebisnis MLM. Namun film ini tidak menjadi penuh ratapan, sebaliknya terselip humor yang getir. Semua kesukaran menjadi pebisnis MLM dimainkan Acha secara wajar.

Melalui film ini Acha tampak makin menunjukkan kematangannya. Memang dia tidak sepenuhnya bisa lepas dari karakter mellow-nya. Tapi siapa sih yang tidak jadi mellow jika kegagalan demi kegagalan terus menghantui? Karakter manja dan selalu ingin kelihatan cantik memang masih terasa. Toh ini tidak terlalu mengganggu. Yang aneh justru ketika Nur bertanya tentang pekerjaan Mbak Susi. Nur yang anak kuliahan dan hidup dikota besar jadi terlihat bodoh. Fedi Nuril mampu mengimbangi Acha sebagai seorang muda yang mapan berkat bisnis MLM.

“Aku beli rumah baru,” ujar Dian, dengan nada bangga yang pas.
“Oya, baguslah” sahut Nur, tanpa perlu mencibir sirik.

Sayangnya, seperti film-film Hanung lainnya, selalu verbal saat menyatakan ekspresi kesedihan atau kemarahan. Lihatlah Sekar yang selalu tampak murung, mencucurkan air mata. Seorang ibu pelanggan laundry yang mesti membentak-bentak, juragan gerabah yang harus melotot dan berteriak-teriak. Hanung pun agaknya keliru memilih Joshua Suherman dan Haykal Kamil untuk berperan sebagai penjaga warnet. Mereka terlalu ganteng dan bersih berada di tengah permukiman kumuh. Kalau pemilik warnet, pas sekali dimainkan oleh entah siapa bertampang Arab. Jaja Mihardja dan Dedi Sutomo menambah kekuatan film ini. Akting dan nada bicara Dedi Sutomo membuat saya jadi ingat sinetron TVRI “Rumah Masa Depan”.

Sabtu, 23 Januari 2010

Tema Besar yang Kehilangan Fokus

(Resensi ini dimuat Riau Pos, Minggu, 7 Februari 2010)

Peristiwa besar dan bersejarah selalu menggoda banyak pengarang mengabadikannya dalam karya mereka ketimbang peristiwa kecil dan dianggap tidak punya nilai sejarah. Terkadang begitu kuatnya godaan tersebut sehingga pengarang mengabaikan peristiwa-peristiwa kecil yang memicu dan melatari bergulirnya peristiwa besar. Inilah kiranya yang saya rasakan usai menikmati novel “Nanyian Kemarau” besutan Hary B Kori’un.

“Nyanyian Kemarau” bukan hanya menyajikan kembali kerusuhan berbau rasial yang menjadi sejarah kelam bangsa ini yang mewarnai masa peralihan dari periode Orde Baru ke zaman reformasi, tapi juga menyeret persoalan besar lainnya seperti pluralisme, pembalakan liar, perlawanan masyarakat adat, kekuasaan modal, kekerasan terhadap wartawan, kisah cinta antar etnik, sampai pengabdian seorang bidan desa. Dengan bahasa yang lugas dan penuturan sederhana sebenarnya saya sudah merasa cukup gembira menyambut terbitnya novel ini. Namun ketika saya mengingat begitu kompleksnya peristiwa yang menyusun cerita dan pesan besar yang ingin disampaikan novel ini, saya jadi ingin memeriksanya. Dan apa boleh buat ternyata saya menemukan novel ini jadi kehilangan fokus, sangat verbal, dan plot yang terkesan agak memaksa.

Novel ini memperalat Rusdi, tokoh sentral yang digambarkan jujur dan sangat teguh memegang idealisme, untuk menggulirkan cerita yang begitu kompleks tersebut. Dikisahkan, Rusdi yang seorang wartawan menjalin hubungan cinta dengan Pramithasari, seorang pengusaha muda keturunan Tionghoa yang menjadi narasumbernya. Hanya, dalam hubungan cinta yang demikian hangat tersebut Pramithasari, atau biasa disapa Sari, tidak pernah mengungkapkan kata cinta seperti yang rupa-rupanya sangat dibutuhkan Rusdi, sehingga lelaki itu kembali ke daerah asalnya Pekanbaru membawa hati yang patah. Di sana dia meneruskan profesinya sebagai wartawan. Rusdi berusaha mengungkap pembalakan liar yang menyeretnya pada kekerasan demi kekerasan yang membuat fisiknya cacat. Di sana pula Rusdi bertemu Aida, seorang bidan yang mengabdikan diri di daerah terpelosok. Mereka menikah meski hanya singkat lantaran Aida meninggal digerogoti tumor yang tumbuh pada tulang pinggulnya yang patah akibat insiden tabrakan mobil.

Pertemuan Rusdi dengan Sari terjadi secara tidak sengaja. Rusdi menggantikan rekannya mewawancarai dan menuliskan profil Pramithasari di majalah tempatnya bekerja di Jakarta. Sari merasa puas dengan profil yang ditulis Rusdi. Dari sana terjalin hubungan asmara. Begitu mudah dan menyederhanakan persoalan. Pembaca tidak diberitahu tulisan profil seperti apakah yang membuat Sari begitu puas dan terpesona sampai-sampai dia merasa perlu menghubungi dan mengajak kencan Rusdi. Saya kira jika tulisan profil tentang Sari dihadirkan tidak hanya akan membuat pembaca mengerti alasan Sari mengajak kencan Rusdi, tapi juga akan mendapatkan gambaran Sari secara lebih utuh. Sayangnya, ini tidak terjadi. Sehingga alur cerita terkesan tidak meyakinan.

Pilihan menggunakan teknik multinarator sebenarnya cukup menarik. Hanya, antara narator satu dan lainnya tidak memiliki keunikan karakter narator masing-masing yang jelas berbeda, sehingga pembaca seperti menghadapi pemaparan-pemaparan belaka tanpa menimbulkan letupan-letupan yang mampu membetot pembaca masuk dan terlibat secara emosi terhadap apa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini. Ini saya kira karena pengarang kurang menggarap karakterisasi tokoh-tokohnya dengan baik. Tidak tergarapnya karakter tokoh-tokoh novel ini juga tampak pada dialog yang panjang-panjang penuh isi dan pesan dengan kalimat-kalimat yang rapi seperti dalam buku teks. Misalnya dialog pada adegan saat Rusdi memberi informasi tentang akan adanya pembantaian etnik Tionghoa lantas meminta Sari dan keluarganya supaya mengungsi ke luar negeri demi keselamatan, (hal 62-63).

Akibat berikutnya adalah plot jadi tidak dinamis. Banyak sekali peritiwa-peristiwa penting yang terjadi secara kebetulan. Dalam mendeskripsikan tentang kerusuhan Mei 1998 yang melanda Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, novel ini terasa sangat surat kabar, seperti ini:

Bahkan aku mendapat laporan bahwa di beberapa tempat, salah satunya Kebon Jeruk, ada satu keluarga, seorang ibu dan dua anak gadisnya, yang satu berusia 17 tahun dan adiknya berusia sekitar 13 tahun, diperkosa ramai-ramai. Sang ibu kemudian bunuh diri Karena tak bisa menolong anaknya dari perkosaan setelah dia sendiri diperkosa, sementara dua anaknya kemudian dilemparkan di ke api yang menjilat-jilat rumah mereka setelah diperkosa.

Namun banyak yang menyanggah bahwa telah benar-benar terjadi perkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa. Polda Metro Jaya jelas-jelas menolak adanya pekosaan itu, karena tak ada laporan dan ketika mereka mendatangi perumahan Pantai Indah Kapuk, tak ada satu orang pun yang mengaku. Kementerian Urusan Peranan Wanita juga menolak dan menganggap itu data yang salah dan sekadar isu. Namun beberapa LSM yang komit membela hak perempuan dan kasus itu mengatakan bahwa para korban diliputi krisis kepercayaan terhadap pemerintah.
(hal: 75).

Pemaparan serupa ini menempatkan novel sekadar mengulang kerja jurnalistik yang menutup ruang-ruang keserbamungkinan bagi hidup dan tumbuhnya tafsir baru yang unik dan segar sebagaimana hakikat karya sastra.

Tentu dari kekurangan-kekurangan tersebut pembaca juga menemukan sejumlah hal menarik yang bisa menjadi kekuatan novel ini. Kisah cinta antara Rusdi dengan Sari dan antara Rusdi dengan Aida yang digambarkan secara cukup indah. Sisik melik persoalan tanah ulayat yang berhadapan dengan kekuatan pemilik modal dalam mengeksploitasi hutan, deskripsi yang cukup detil mengenai wilayah-wilayah di pedalaman hutan Sumatera. Dan, bagi pembaca--terutama wartawan--yang gemar pada pesan moral, novel ini sangat berharga sebagai buku penuntun.

Judul Buku : Nyanyian Kemarau
Pengarang : Hary B Kori’un
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : 243 Halaman

Senin, 18 Januari 2010

Tragika Rombongan Sandiwara Keliling Miss Titin












(Resensi ini dimuat Riau Pos, Minggu 31 Januari 2010)

Arus modernitas yang semata bertumpu pada kekuatan modal sanggup menggilas apa pun tanpa perasaan. Kemajuan teknologi yang menjadi instrumen utama modernitas menggeser bahkan merontokkan nilai-nilai lama yang dianggap tidak efisien dan tidak bernilai jual. Maka kesenian tradisional, jika ia tak mau takluk dengan merubah bentuk, harus menghadapi kenyataan pedih ditinggalkan masyarakatnya.

Inilah tragika. Lantas, bagaimanakah sebuah tragika hilangnya tradisi sandiwara keliling mestinya disikapi? “Cincin Cinta Miss Titin” sebuah novel penulis produktif, Hermawan Aksan, mencoba menjawab pertanyaan yang menggelisahkan ini. Menjawab? Mungkin tidak terlalu tepat bahkan keliru sama sekali jika saya menafsirkan novel ini sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.

Karena, novel ini sedikit saja menyinggung soal pergesekan antara kesenian tradisional dan arus modernitas dengan instrumen kemajuan teknologi yang menyebabkan tergerusnya kesenian tradisonal—dalam konteks novel ini sandiwara keliling. Tidak menjadikan pergesekan tersebut sebagai pemicu konflik. Bahkan ia hanya dijadikan latar—malah cenderung alat—untuk memunculkan efek dramatisasi novel berketebalan 200 halaman ini. Kalaupun terasa sebagai konflik, tapi tidak terasa seperti konflik lantaran dituturkan secara jernih—sebab itu terasa mengena—tanpa pretensi berlebihan.

Namun, bagi saya justru di sinilah kekuatan dan keasyikkan yang didapatkan dari membaca novel ini. Ia tidak datang meratapi kalahnya kesenian tradisional atas arus modernitas. Atau, berlaku sebaliknya dengan menyajikan heroisme yang kesiangan. Melainkan persoalan cinta tak sampai yang dituturkan secara wajar dan sederhana sekaligus penuh kelokan mendebarkan. Yakni cinta seorang remaja tanggung bernama Asep, kepada Titin, bintang sandiwara keliling yang dengan rombongannya tengah mampir manggung di desanya.

Asep mendapati hatinya berdebar-debar tidak seperti biasa, yang kemudian diidentifkasi sebagai perasaan cinta, manakala melihat ketelanjangan tubuh putih mulus Titin yang tengah mandi dalam keremangan subuh di kali Cidadap. Peristiwa inilah yang membawa Asep menjadi penggandrung sandiwara keliling. Lantaran sosok yang mendebarkan itu tak lain bintang sandiwara keliling yang singgah di desanya. Namun Asep hanya memendam perasaan cintanya mengingat dia hanya salah seorang penggemar bintang sandiwara keliling yang dipuja-puja orang seluruh desa itu. Ditambah usia Asep yang belum tujuh belas, sementara Titin merupakan perempuan yang mulai matang. Tetapi cinta toh tetap diperjuangkan sekalipun dengan bentuknya yang sederhana, yakni menjadi penonton setia sandiwara keliling, melukis sang pujaan, lantas memberikannya sebagai kado.

Novel ini tidak semata memotret kesenian tradisional sandiwara keliling beserta orang-orang yang menghidupinya—pemain dan masyarakat penonton—tapi juga mengangkat persoalan yang lebih luas, yakni perihal etika sosial bahkan tentang penindasan dan ketertindasan. Untuk yang terakhir ini mungkin saja tanpa disadari penulisnya ketika menulis novel ini.

Hermawan menghadirkan pesinden Titin yang cantik jelita, piawai memainkan bermacam peran di panggung tapi tetap tak jatuh menjadi stereotip pesinden yang gampangan dan bisa diajak tidur oleh pejabat desa, tanpa harus menggiring novel ini menjadi moralis. Bahkan ketika Titin membentak si pelatih tari yang meraba-raba dan meremat pantatnya. Titin memang bukan sinden biasa. Ia memiliki kesadaran feminisme dan kesetaraan. Seperti terlihat pada cita-citanya meneruskan pendidikan di ASTI (Akademi Seni Indonesia) meskipun tak pernah terwujud lantaran benturan ekonomi.

Sebagaimana Asep, Titin pun diam-diam ternyata menyimpan perasaan serupa kepada Asep. Perasaan cinta keduanya diungkapkan manakala Titin hendak pamit karena rombongan sandiwara yang dipimpin ayah Titin sendiri harus meneruskan perjalanannya. Sayangnya tidak diceritakan secara jelas apakah rombongan sandiwara keliling tanpa nama itu, kecuali berdasar nama sinden yang menjadi bintangnya, pulang ke daerah asal mereka di Sumedang atau singgah dan manggung di desa lain. Hanya disebutkan bahwa perginya rombongan sandiwara tersebut lantaran masyarakat yang datang menonton makin susut lantaran mulai masuknya televisi di desa mereka. Kehadiran televisi sebagai representasi kemajuan teknologi yang menyisihkan kesenian tradisional.

Seperti novel-novel Hermawan sebelumnya (“Dyah Pitaloka”, “Niskala”, dan Cinta Empat Bab) “Cincin Cinta Miss Titin” bergerak dengan alur yang lurus, jika ada yang sedikit berbeda novel ini dituturkan oleh dua penutur yakni Titin dan Asep secara selang seling. Saya kira teknik multinarator selain memperkaya sudut pandang, menyelamatkan novel ini dari kesan menjemukan, terutama ketika cerita lakon sandiwara yang dimainkan Titin dituturkan secara panjang lebar dan bertele-tele, juga percakapan yang berlangsung dalam mimpi Asep (hal 57-62).

Seumpama Hermawan lebih mengeksplor bagian yang mempertemukan Asep dan Titin, dan menghindari ending yang terkesan mendadak dan terlalu menyederhanakan persoalan, serta menyertakan setting waktu yang lebih rinci, tentu novel ini akan lebih menarik.

Data Buku
Judul Buku : Cincin Cinta Miss Titin
Pengarang : Hermawan Aksan
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : 202 Halaman

Jumat, 01 Januari 2010

Tahun Baru, Sampah Baru

Ke mana kamu melewatkan malam tahun baru? Turun ke jalan meniup terompet? Larut dalam kerumunan massa di pub, berjingkrak-jingkrak? Menggumamkan doa di masjid atau gereja? Atau membiarkan diri sendirian di kamar ditemani nyala sebatang lilin? Jika hal terakhir yang kamu lakukan, mungkin kita memiliki kegemaran yang sama pada keheningan, kesenyapan.

Ya, sore di penghujung Desember 2009 aku meninggalkan Jakarta menuju sebuah pelosok desa. Menemui seorang kawan di sana. Tapi aku rasa kedatanganku ke sana bukan dalam rangka untuk merayakan tahun baru. Melainkan sebuah lawatan yang biasa kulakukan saban beberapa bulan sekali. Meski pelosok ini hanya beberapa puluh kilo meter dari Jakarta, tapi ia tak tersentuh kendaraan umum. Jadi begitu bus menurunkan aku di tepi jalan, aku menunggu dia menjemputku menggunakan motor.

Dia telah menyiapkan jagung rebus, singkong rebus, ayam bakar, tomat, jeruk, pir, dan beberapa ekor lele. Kecuali buah pir dan jeruk, semua jenis makanan ini tidak ia beli dari toko, melainkan dari kebun dan kolam di halaman depan dan belakang rumahnya. Begitulah sambil bercengkarama ringan kami melahap makanan yang bebas dari bahan kimia itu di antara kolam dan kebun sayur mungilnya. Dan kurasa kami tidak menyinggung perihal tahun yang berganti dan orang-orang yang merayakannya dengan penuh histeria. Kami tak punya tradisi merayakan malam pergantian tahun. Dan sering merasa heran kenapa orang-orang demikian bersemangat merayakan pergantian tahun. Apakah yang mereka pikirkan tentang tahun baru?

Aku tidak pernah tahu persis. Yang pasti perayaan pergantian tahun baru, dari tahun ke tahun, ternyata tidak memberikan kesadaran pada mereka untuk merawat bumi yang makin renta dna rusak oleh ketidakpedulian mereka. Yang terjadi justru sebaliknya, sampah (puntung rokok, plastik bekas kemasan, botol-botol dan kaleng bekas minuman) berserakan di sepanjang jalan usai malam perayaan pergantian tahun.