Senin, 10 Mei 2010

Upaya Menciptakan Dunia Baru



(Resensi ini dimuat Kompas, 9 Mei 2010)

Kekokohan teks cerpen dapat ditakar dari kemampuannya menciptakan dunia tersendiri yang berbeda dari realitas keseharian. Agus Noor, penulis buku ”Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia” ini, berhasil menaklukan bahasa sebagai media kerjanya untuk menyampaikan gagasan.

Agus Noor menjadi representasi pengarang yang memercayai bahasa bukan semata alat bercerita, melainkan perangkat untuk membangun dunia baru. Teks cerpen Agus Noor menghadirkan eksplorasi bahasa yang meluapkan keserba-mungkinan makna, sekaligus menyajikan realitas imajinasi yang bisa ”disentuh”.

Teks-teks cerpen dalam buku Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini saling menghidupi antara realitas keseharian dan dunia imajinasi yang diciptakan melalui pergulatan dan penjelajahan berbahasa. Kedua entitas berbeda ini hadir secara bersamaan dan harmonis menjalin ”dunia kisah tersendiri” yang kaya dengan kejutan dan menyegarkan. Strategi serupa berlaku juga dalam cara kerja kesadaran anak-anak mencerap dan memaknai dunia yang baru dikenalnya. Rupanya, asumsi ini disiratkan secara lembut sekaligus tegas dalam cerpen Kartu Pos dari Surga, yang bertutur mengenai pertemuan Beningnya, bocah perempuan, dengan ibunya yang telah gugur dalam kecelakaan pesawat.

Nilai reflektif
Cerpen ini tidak hanya menyajikan dunia rekaan yang menyentak realitas keseharian, tetapi juga memiliki nilai-nilai reflektif atas realitas sosial. Misalnya, menyentil ketidakmampuan negara dalam menyediakan moda angkutan yang menjamin keselamatan rakyatnya.

Modus semacam itu juga bertebaran pada cerpen Pemetik Air Mata, Penyemai Sunyi, Penjahit Kesedihan, dan Pelancong Kepedihan, yang tersusun dalam Empat Cerita Buat Cinta. Demikian pula pada cerpen Serenada Kunang-Kunang dalam Cerita yang Menetes dari Pohon Natal, Permen, serta sejumlah fiksi mini yang menyusun 20 Keping Puzzle Cerita.

Salah satu cerpen berjudul Perihal Orang Miskin yang Berbahagia yang mengolok-olok persoalan ketimpangan sosial dengan cara satir sekaligus ironik, saya kutipkan berikut ini.

”AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari Kelurahan. '”Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena dilaminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong.
”Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.” (hlm 153).

Melalui metafora permen pada cerpen Permen, secara cerdas Agus Noor tidak hanya menggiring pembaca untuk menengok persoalan keluarga, tetapi juga problem krusial yang merundung negeri ini, yaitu kemiskinan. Dengan permainan bahasa dan cara bercerita yang meliuk-liuk dicampur dengan dunia dongeng, hal remeh-temeh di tangan Agus Noor menjadi penting dan memiliki daya renung. Pada saat bersamaan, ia juga sanggup mengetengahkan persoalan gawat menjadi enteng belaka.

Kehilangan kepekaan
Hanya, terlalu bergeloranya semangat Agus Noor melakukan penjelajahan bahasa dan eksperimentasi gaya bercerita serta kehendak menampilkan dunia tersendiri mengakibatkan sentilan-sentilannya terhadap penyimpangan negara dalam bekerja terdengar sayup-sayup. Bahkan, pada titik tertentu sekadar tempelan atau sekadar pintu masuk untuk menciptakan dunia baru. Tidak tampak tendensi untuk melakukan perlawanan pada teks-teks cerpen tersebut sehingga pengarang terkesan kehilangan kepekaannya pada cerita itu sendiri.

Namun, justru di situlah kiranya yang menjadi salah satu kekuatan cerpen-cerpen ini. Agus Noor dengan sengaja menghindarkan teks-teks cerpen yang dibangunnya dari beban pesan sosial politik yang berpotensi membatalkan hakikat sastra sebagai teks yang banyak mengandung makna. Pola ini tak pelak memperlihatkan kelenturan Agus Noor mengolah realitas keseharian menjadi dunia rekaan yang mempunyai alur dan logikanya sendiri serta kemampuannya menjaga tarik-menarik antara bentuk dan isi.

Cerpen-cerpen lainnya, yakni Cerita yang Menetes dari Pohon Natal, Episode, Variasi bagi Kematian yang Seksi, dan terutama Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, yang dijadikan judul kumpulan cerpen ini, memperlihatkan upaya sangat keras Agus Noor menciptakan dunia baru yang kaya dengan metafor-metafor unik dan otentik, seperti kata Happy Salma yang tertera di sampul belakang buku ini.

Eksperimentasi bentuk yang diketengahkan pada beberapa cerita ialah bagaimana Agus Noor menciptakan teks cerpen dengan bahan dari cerpen yang telah ada. Seperti montase. Misalnya, cerpen Pemetik Air Mata dan Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Pada cerpen Pemetik Air Mata, Agus bermain-main dengan bahan dari cerpen Pelajaran Mengarang karangan Seno Gumira Ajidarma.

Hasilnya, Pemetik Air Mata hadir seperti melanjutkan cerpen Pelajaran Mengarang, seraya melengkapi beberapa bagian dengan alur baru dan detail yang memikat. Jika pada cerpen Pelajaran Mengarang Sandra merupakan bocah perempuan yang resah dengan pekerjaan melacur yang dijalani ibunya, pada Pemetik Air Mata Sandra telah tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa yang cemas bagaimana menceritakan status perkawinannya kepada Bita, anaknya.

Demikian pula Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Agus Noor habis-habisan mengolah dan meramu bahan dari sejumlah cerpen Seno, lalu melahirkannya kembali dalam wujud baru yang makin kaya. Kelenturan Agus Noor menjahit kisah dan memperlakukan bahasa memungkinkan jalan eksperimentasi yang ditempuhnya terhindar dari risiko terjadinya pengulangan-pengulangan yang membosankan.

Pencarian Gila Bocah Ateis



Apakah yang akan kita lakukan sebagai bukti cinta untuk orang terdekat ketika ia meninggal? Mungkin kita akan mengerjakan pesan-pesan yang diwasiatkan kendati bisa saja hal tersebut tidak berguna bagi si pemberi wasiat. Untuk persoalan satu ini biasanya orang terpaksa mengabaikan pertanyaan, berguna atau sia-siakah langkah yang dilakukan? Perkara berguna atau sia-sia, akhirnya memang relatif karena tidak ada ukuran yang sama bagi setiap orang untuk men-just suatu tindakan sebagai berguna atau sebaliknya.

Pertanyaan ini agaknya yang ingin didedahkan Jonathan Safran Foer, pengarang dan seorang aktor Holywood, melalui novel keduanya Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring dan Sungguh-Sungguh Dekat). Oskar Schell, bocah berusia 9 tahun tokoh sentral novel ini, terobsesi membuktikan kecintaannya pada sang ayah Thomas Schell, yang tewas pada peristiwa kehancuran menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, atau yang dikenal sebagai peristiwa 9/11. Oskar melakukan sesuatu yang bagi nalar umum sangat konyol. Kelakuan konyol ini dimulai ketika ia secara tidak sengaja menemukan sebuah anak kunci dan catatan berisi wasiat, setahun setelah kematian ayahnya.

Bocah ateis itu menjelajahi kelima sektor New York (Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island, dan Bronx) demi mencari lubang kunci yang pas bagi anak kunci yang ditemukannya. Dalam perhitungannya sendiri, ada satu anak kunci lahir setiap 2,777 detik. Dalam pencarian ini Oskar terlibat langsung dalam kemelut kehidupan orang-orang yang tak dikenalnya. Bagi pembaca Indonesia, petualangan Oskar ini jadi bisa lubang untuk mengintip kehidupan masyarakat kota kosmopolitan New York.

Oskar merupakan potret bocah jenius yang lahir dan tumbuh di belantara New York yang super sibuk. Kejeniusan seringkali memang sulit dibedakan dari kegilaan. Kepalanya selalu dipenuhi hasrat mencoba dan mengetahui segala hal. Jangan pernah coba-coba membuat cerita tak masuk akal di hadapan bocah jenis ini. Kau bisa dibikin keki dan malu sendiri. Apapun yang dilihatnya selalu memunculkan keheranan dan pertanyaan kenapa semua bisa terjadi. Mulai dari pertanyaan mendasar yang sangat filosofis, kenapa alam semesta tercipta dan manusia ada? Oskar menampik ketika sang ayah menjelaskan bahwa bayi lahir karena pertemuan sel sperma dengan sel telur. Karena bagi Oskar, itu jawaban untuk pertanyaan ‘bagaimana’ bukan ‘kenapa’ manusia lahir?
Kecerdasan yang luar biasa bocah ateis ini tak pelak kemudian melahirkan pola hubungan orangtua-anak yang unik. Kesejajaran orang tua dan anak yang di negeri seliberal Amerika sekalipun terlihat tidak lumrah. Oskar gemar mengkritik perilaku ibunya dalam hal berpacaran.

Dari kecerdasan semacam itu pula muncul gagasan-gagasan gila yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat modern. Misalkan membuat makam bersusun ke atas untuk mengatasi lahan yang tak pernah bertambah luas sementara manusia terus berlahiran. Taburan pertanyaan filosofis menjadikan novel bertema inti tentang pencarian jati diri seorang pra-remaja Oskar Schell, sangat merangsang petualangan pikiran.

Secara sepintas novel ini juga menyinggung perihal trauma dan kebencian pada ras tertentu sebagai dampak dari peristiwa 9/11 yang kemudian hari memicu isu terorisme internasional.

Penyajian novel ini terlihat unik. Bukan karena alur bergerak melalui tiga penutur—baik dalam bentuk surat, transkrip wawancara, maupun tuturan langsung—, melainkan menggabungkan teks dengan unsur visual yang memperkuat teks. Pembaca akan menjumpai halaman-halaman kosong, memburam, lalu hitam sepenuhnya. Juga foto-foto dan coretan-coretan dengan tinta aneka warna yang selintas mengesankan novel ini sedang dalam proses pengeditan atau bahkan mengalami kecelakaan cetak. Gaya serupa ini waktu pertama kali muncul di Amerika melalui novel pertama Jonathan Everything Is Illuminated (2002) cukup mengundang kontroversi. Saat ini tentu saja gaya seperti ini sudah tidak lagi memberikan kesegaran. Dalam sastra Indonesia, jauh-jauh hari Danarto telah melakukannya melalui kumpulan cerpen Adam Ma’rifat.

Kuatnya unsur visual ini menjadi tantangan tak ringan ketika novel ini diterjemahkan kepada bahasa lain. Tapi syukurlah penerjemahan novel ini ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan dengan cukup baik.


Judul buku : Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring
dan Sungguh-Sungguh Dekat)
Penulis : Jonathan Safran Foer
Penerjemah : Antie Nugrahani
Penerbit : Mahda Books
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : 430 hlm