Senin, 18 Januari 2010

Tragika Rombongan Sandiwara Keliling Miss Titin












(Resensi ini dimuat Riau Pos, Minggu 31 Januari 2010)

Arus modernitas yang semata bertumpu pada kekuatan modal sanggup menggilas apa pun tanpa perasaan. Kemajuan teknologi yang menjadi instrumen utama modernitas menggeser bahkan merontokkan nilai-nilai lama yang dianggap tidak efisien dan tidak bernilai jual. Maka kesenian tradisional, jika ia tak mau takluk dengan merubah bentuk, harus menghadapi kenyataan pedih ditinggalkan masyarakatnya.

Inilah tragika. Lantas, bagaimanakah sebuah tragika hilangnya tradisi sandiwara keliling mestinya disikapi? “Cincin Cinta Miss Titin” sebuah novel penulis produktif, Hermawan Aksan, mencoba menjawab pertanyaan yang menggelisahkan ini. Menjawab? Mungkin tidak terlalu tepat bahkan keliru sama sekali jika saya menafsirkan novel ini sebagai jawaban atas pertanyaan di atas.

Karena, novel ini sedikit saja menyinggung soal pergesekan antara kesenian tradisional dan arus modernitas dengan instrumen kemajuan teknologi yang menyebabkan tergerusnya kesenian tradisonal—dalam konteks novel ini sandiwara keliling. Tidak menjadikan pergesekan tersebut sebagai pemicu konflik. Bahkan ia hanya dijadikan latar—malah cenderung alat—untuk memunculkan efek dramatisasi novel berketebalan 200 halaman ini. Kalaupun terasa sebagai konflik, tapi tidak terasa seperti konflik lantaran dituturkan secara jernih—sebab itu terasa mengena—tanpa pretensi berlebihan.

Namun, bagi saya justru di sinilah kekuatan dan keasyikkan yang didapatkan dari membaca novel ini. Ia tidak datang meratapi kalahnya kesenian tradisional atas arus modernitas. Atau, berlaku sebaliknya dengan menyajikan heroisme yang kesiangan. Melainkan persoalan cinta tak sampai yang dituturkan secara wajar dan sederhana sekaligus penuh kelokan mendebarkan. Yakni cinta seorang remaja tanggung bernama Asep, kepada Titin, bintang sandiwara keliling yang dengan rombongannya tengah mampir manggung di desanya.

Asep mendapati hatinya berdebar-debar tidak seperti biasa, yang kemudian diidentifkasi sebagai perasaan cinta, manakala melihat ketelanjangan tubuh putih mulus Titin yang tengah mandi dalam keremangan subuh di kali Cidadap. Peristiwa inilah yang membawa Asep menjadi penggandrung sandiwara keliling. Lantaran sosok yang mendebarkan itu tak lain bintang sandiwara keliling yang singgah di desanya. Namun Asep hanya memendam perasaan cintanya mengingat dia hanya salah seorang penggemar bintang sandiwara keliling yang dipuja-puja orang seluruh desa itu. Ditambah usia Asep yang belum tujuh belas, sementara Titin merupakan perempuan yang mulai matang. Tetapi cinta toh tetap diperjuangkan sekalipun dengan bentuknya yang sederhana, yakni menjadi penonton setia sandiwara keliling, melukis sang pujaan, lantas memberikannya sebagai kado.

Novel ini tidak semata memotret kesenian tradisional sandiwara keliling beserta orang-orang yang menghidupinya—pemain dan masyarakat penonton—tapi juga mengangkat persoalan yang lebih luas, yakni perihal etika sosial bahkan tentang penindasan dan ketertindasan. Untuk yang terakhir ini mungkin saja tanpa disadari penulisnya ketika menulis novel ini.

Hermawan menghadirkan pesinden Titin yang cantik jelita, piawai memainkan bermacam peran di panggung tapi tetap tak jatuh menjadi stereotip pesinden yang gampangan dan bisa diajak tidur oleh pejabat desa, tanpa harus menggiring novel ini menjadi moralis. Bahkan ketika Titin membentak si pelatih tari yang meraba-raba dan meremat pantatnya. Titin memang bukan sinden biasa. Ia memiliki kesadaran feminisme dan kesetaraan. Seperti terlihat pada cita-citanya meneruskan pendidikan di ASTI (Akademi Seni Indonesia) meskipun tak pernah terwujud lantaran benturan ekonomi.

Sebagaimana Asep, Titin pun diam-diam ternyata menyimpan perasaan serupa kepada Asep. Perasaan cinta keduanya diungkapkan manakala Titin hendak pamit karena rombongan sandiwara yang dipimpin ayah Titin sendiri harus meneruskan perjalanannya. Sayangnya tidak diceritakan secara jelas apakah rombongan sandiwara keliling tanpa nama itu, kecuali berdasar nama sinden yang menjadi bintangnya, pulang ke daerah asal mereka di Sumedang atau singgah dan manggung di desa lain. Hanya disebutkan bahwa perginya rombongan sandiwara tersebut lantaran masyarakat yang datang menonton makin susut lantaran mulai masuknya televisi di desa mereka. Kehadiran televisi sebagai representasi kemajuan teknologi yang menyisihkan kesenian tradisional.

Seperti novel-novel Hermawan sebelumnya (“Dyah Pitaloka”, “Niskala”, dan Cinta Empat Bab) “Cincin Cinta Miss Titin” bergerak dengan alur yang lurus, jika ada yang sedikit berbeda novel ini dituturkan oleh dua penutur yakni Titin dan Asep secara selang seling. Saya kira teknik multinarator selain memperkaya sudut pandang, menyelamatkan novel ini dari kesan menjemukan, terutama ketika cerita lakon sandiwara yang dimainkan Titin dituturkan secara panjang lebar dan bertele-tele, juga percakapan yang berlangsung dalam mimpi Asep (hal 57-62).

Seumpama Hermawan lebih mengeksplor bagian yang mempertemukan Asep dan Titin, dan menghindari ending yang terkesan mendadak dan terlalu menyederhanakan persoalan, serta menyertakan setting waktu yang lebih rinci, tentu novel ini akan lebih menarik.

Data Buku
Judul Buku : Cincin Cinta Miss Titin
Pengarang : Hermawan Aksan
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : 202 Halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar