(Resensi ini dimuat Riau Pos, Minggu, 7 Februari 2010)
Peristiwa besar dan bersejarah selalu menggoda banyak pengarang mengabadikannya dalam karya mereka ketimbang peristiwa kecil dan dianggap tidak punya nilai sejarah. Terkadang begitu kuatnya godaan tersebut sehingga pengarang mengabaikan peristiwa-peristiwa kecil yang memicu dan melatari bergulirnya peristiwa besar. Inilah kiranya yang saya rasakan usai menikmati novel “Nanyian Kemarau” besutan Hary B Kori’un.
“Nyanyian Kemarau” bukan hanya menyajikan kembali kerusuhan berbau rasial yang menjadi sejarah kelam bangsa ini yang mewarnai masa peralihan dari periode Orde Baru ke zaman reformasi, tapi juga menyeret persoalan besar lainnya seperti pluralisme, pembalakan liar, perlawanan masyarakat adat, kekuasaan modal, kekerasan terhadap wartawan, kisah cinta antar etnik, sampai pengabdian seorang bidan desa. Dengan bahasa yang lugas dan penuturan sederhana sebenarnya saya sudah merasa cukup gembira menyambut terbitnya novel ini. Namun ketika saya mengingat begitu kompleksnya peristiwa yang menyusun cerita dan pesan besar yang ingin disampaikan novel ini, saya jadi ingin memeriksanya. Dan apa boleh buat ternyata saya menemukan novel ini jadi kehilangan fokus, sangat verbal, dan plot yang terkesan agak memaksa.
Novel ini memperalat Rusdi, tokoh sentral yang digambarkan jujur dan sangat teguh memegang idealisme, untuk menggulirkan cerita yang begitu kompleks tersebut. Dikisahkan, Rusdi yang seorang wartawan menjalin hubungan cinta dengan Pramithasari, seorang pengusaha muda keturunan Tionghoa yang menjadi narasumbernya. Hanya, dalam hubungan cinta yang demikian hangat tersebut Pramithasari, atau biasa disapa Sari, tidak pernah mengungkapkan kata cinta seperti yang rupa-rupanya sangat dibutuhkan Rusdi, sehingga lelaki itu kembali ke daerah asalnya Pekanbaru membawa hati yang patah. Di sana dia meneruskan profesinya sebagai wartawan. Rusdi berusaha mengungkap pembalakan liar yang menyeretnya pada kekerasan demi kekerasan yang membuat fisiknya cacat. Di sana pula Rusdi bertemu Aida, seorang bidan yang mengabdikan diri di daerah terpelosok. Mereka menikah meski hanya singkat lantaran Aida meninggal digerogoti tumor yang tumbuh pada tulang pinggulnya yang patah akibat insiden tabrakan mobil.
Pertemuan Rusdi dengan Sari terjadi secara tidak sengaja. Rusdi menggantikan rekannya mewawancarai dan menuliskan profil Pramithasari di majalah tempatnya bekerja di Jakarta. Sari merasa puas dengan profil yang ditulis Rusdi. Dari sana terjalin hubungan asmara. Begitu mudah dan menyederhanakan persoalan. Pembaca tidak diberitahu tulisan profil seperti apakah yang membuat Sari begitu puas dan terpesona sampai-sampai dia merasa perlu menghubungi dan mengajak kencan Rusdi. Saya kira jika tulisan profil tentang Sari dihadirkan tidak hanya akan membuat pembaca mengerti alasan Sari mengajak kencan Rusdi, tapi juga akan mendapatkan gambaran Sari secara lebih utuh. Sayangnya, ini tidak terjadi. Sehingga alur cerita terkesan tidak meyakinan.
Pilihan menggunakan teknik multinarator sebenarnya cukup menarik. Hanya, antara narator satu dan lainnya tidak memiliki keunikan karakter narator masing-masing yang jelas berbeda, sehingga pembaca seperti menghadapi pemaparan-pemaparan belaka tanpa menimbulkan letupan-letupan yang mampu membetot pembaca masuk dan terlibat secara emosi terhadap apa yang dialami tokoh-tokoh dalam novel ini. Ini saya kira karena pengarang kurang menggarap karakterisasi tokoh-tokohnya dengan baik. Tidak tergarapnya karakter tokoh-tokoh novel ini juga tampak pada dialog yang panjang-panjang penuh isi dan pesan dengan kalimat-kalimat yang rapi seperti dalam buku teks. Misalnya dialog pada adegan saat Rusdi memberi informasi tentang akan adanya pembantaian etnik Tionghoa lantas meminta Sari dan keluarganya supaya mengungsi ke luar negeri demi keselamatan, (hal 62-63).
Akibat berikutnya adalah plot jadi tidak dinamis. Banyak sekali peritiwa-peristiwa penting yang terjadi secara kebetulan. Dalam mendeskripsikan tentang kerusuhan Mei 1998 yang melanda Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia, novel ini terasa sangat surat kabar, seperti ini:
Bahkan aku mendapat laporan bahwa di beberapa tempat, salah satunya Kebon Jeruk, ada satu keluarga, seorang ibu dan dua anak gadisnya, yang satu berusia 17 tahun dan adiknya berusia sekitar 13 tahun, diperkosa ramai-ramai. Sang ibu kemudian bunuh diri Karena tak bisa menolong anaknya dari perkosaan setelah dia sendiri diperkosa, sementara dua anaknya kemudian dilemparkan di ke api yang menjilat-jilat rumah mereka setelah diperkosa.
Namun banyak yang menyanggah bahwa telah benar-benar terjadi perkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa. Polda Metro Jaya jelas-jelas menolak adanya pekosaan itu, karena tak ada laporan dan ketika mereka mendatangi perumahan Pantai Indah Kapuk, tak ada satu orang pun yang mengaku. Kementerian Urusan Peranan Wanita juga menolak dan menganggap itu data yang salah dan sekadar isu. Namun beberapa LSM yang komit membela hak perempuan dan kasus itu mengatakan bahwa para korban diliputi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. (hal: 75).
Pemaparan serupa ini menempatkan novel sekadar mengulang kerja jurnalistik yang menutup ruang-ruang keserbamungkinan bagi hidup dan tumbuhnya tafsir baru yang unik dan segar sebagaimana hakikat karya sastra.
Tentu dari kekurangan-kekurangan tersebut pembaca juga menemukan sejumlah hal menarik yang bisa menjadi kekuatan novel ini. Kisah cinta antara Rusdi dengan Sari dan antara Rusdi dengan Aida yang digambarkan secara cukup indah. Sisik melik persoalan tanah ulayat yang berhadapan dengan kekuatan pemilik modal dalam mengeksploitasi hutan, deskripsi yang cukup detil mengenai wilayah-wilayah di pedalaman hutan Sumatera. Dan, bagi pembaca--terutama wartawan--yang gemar pada pesan moral, novel ini sangat berharga sebagai buku penuntun.
Judul Buku : Nyanyian Kemarau
Pengarang : Hary B Kori’un
Penerbit : Kakilangit Kencana
Cetakan : 1, November 2009
Tebal : 243 Halaman
Sabtu, 23 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar