Kamis, 05 Februari 2009

Dyah Pithaloka


Dyah Pithaloka

Aku pernah mendefinisikan diriku sebagai orang yang suka ketemu kawan lama dan mengobrolkan sesuatu yang telah silam. Tentu saja ini sok tahu. Begitu kompleksnya sebuah pribadi sehingga tak akan pernah tuntas dipahami bahkan oleh pemiliknya sendiri.

Tapi setidaknya aku memang merasa bahagia setiap mengenang masa kecil. Salah satu kegemaranku kala itu adalah mendengarkan sandiwara radio Saur Sepuh. Pertama yang kupikirkan begitu pulang sekolah adalah jadwal mendengarkan sandiwara radio. Biasanya bersama-sama dengan kawan-kawan dan para tetangga. Tapi sebetulnya aku lebih suka sendiri. Maka aku harus mengamankan radio satu-satunya di rumah. Aksi mengamankan radio ini sering membuat aku harus bersitegang dengan kakak sulungku.

Masa kecil ini tiba-tiba terkenang lagi ketika aku membaca novel Dyah Pitaloka karangan Hermawan Aksan. Ini kisah tentang tragedi di lapangan Bubat. Keserakahan Gajah Mada. Kepahlawanan para ksatria Sunda. Membaca novel ini aku teringat sandiwara radio Saur Sepuh episode Banjir Darah di Bubat. Aku teringat Brama Kumbara, Dewi Mantili, Lasmini. Berapa tahun lalukah itu? Sudah lama sekali. Tapi rasanya perasaanku merespons kisah tersebut tidak berubah: Haru, muncul kebencian pada Gajah Mada, dan sangat menyayangi Dyah Pithaloka.

Hanya saja, jika di Saur Sepuh tragedi Bubat hanya latar, di novel Dyah Pithaloka, tragedi bubat menjadi yang utama. Aku membayangkan Dyah Pithaloka yang jelita dan pintar dan setia. Ngeri sekali ketika membayangkan dia menusukkan konde ke jantung sendiri. Uh…Hermawan Aksan kurasa pintar memainkan perasaan ngeri pembaca. Aku heran, mendapati mataku berkaca-kaca membacanya. Sayangnya Novel ini terlalu pendek. Aku gak puas, gak puaaaaassss. Hanya dua kali duduk habis sudah….