Sabtu, 17 Juli 2010

Sastra Dunia Ketiga



(Resensi ini disiarkan Lampung Post, Minggu, 18 Juli 2010)


Dalam film-film produksi Bollywood, India selalu ditampilkan dengan kemewahan, kesuksesan lengkap dengan gambaran-gambaran tentang kesejahteraan ekonomi yang hampir tanpa cela.

Namun, Vikas Swarup melalui ‘Six Suspect’, novel keduanya ini, menjungkir balikkan semua gambaran tersebut. Novel yang mengangkat sepak terjang Vicky Rai, putra seorang politisi korup ini seakan mengorek borok-borok India yang paling gelap. Segi-segi yang selama ini ‘ditutupi’ dalam film-film Bollywood dibongkar habis-habisan.

Mulai dari hakim yang doyan disuap, kaum birokrat yang gemar melakukan intrik dan kekerasan demi mencapai ambisi kekuasan, pelacuran di dalam industri perfilman Bollywood, hukum yang pandang bulu, konspirasi busuk pengusaha dan penguasa, sampai gaya hidup mewah kaum kelas menengah di tengah kemelaratan rakyat.

Vicky Rai, putra seorang Menteri Dalam Negeri Negara Bagian Uttar Prades, India Utara, menembak mati Ruby Gill, seorang pelayan restoran lantaran dia menolak menyajikan minuman untuk Vicky Rai. Namun pengadilan kemudian membebaskan Vicky dengan vonis tak bersalah.

Kasus ini hanya bagian kecil saja dari prilaku kriminal yang dilakukan sang putra Menteri Dalam Negeri. Semasa remaja dengan sedan BMW-nya sepulang dari mabuk-mabukan di sebuah bar, Vicky pernah menggilas enam tunas wisma yang tengah tidur di trotoar. Dia juga membunuh seorang jagawana, satu-satunya saksi atas ulah Vicky berburu hewan yang dilindungi.

Namun berkat uang dan kekuasaan sang ayah, semua perbuatan kriminal yang dilakukannya itu tak membuatnya bebas dari jeratan hukum. Vicky melenggang bebas, bahkan kemudian tumbuh menjadi industrialis yang memperkokoh kekuasaan keluarga dan kroninya.

Vonis bebas dari pengadilan kemudian dirayakan secara besar-besaran di rumah mewahnya yang berdiri megah di tak jauh dari permukiman kumuh kaum melarat India. Pada puncak pesta perayaan itulah keadilan berbicara. Dua butir peluru menembus tubuh Vicky. Polisi kemudian menangkap enam tersangka; mereka yang kedapatan membawa senjata api dalam pesta tersebut. Polisi begitu sigap menangkap para pelaku ketika korban ada di pihak kaum kaum elit. Begitulah yang umum terjadi di negara-negara dunia ketiga, hukum berlaku hanya bagi rakyat kebanyakan yang hidup dalam kemiskinan dan tak memiliki banyak pilihan. Sementara kelas menengah dan kaum interektual yang semestinya muncul sebagai pembela, justru turut sibuk menjilat penguasa, demi menikmati gaya hidup hedonisme. Jadilah rakyat muncul meminta keadilan dengan caranya sendiri.

Novel dengan cerita yang melibatkan begitu banyak tokoh dan kompleksitas karakternya serta percabangan kisahnya yang rimbun, membuat tidak mudah memberi label novel sebagai novel thriller atau detektif, drama. Karena semua unsur-unsur hadir secara bersamaan membetot rasa penasaran pembaca.

Novel ini merepresentasikan India kontemporer yang makin meninggalkan semangat Swadesi, ajaran sang bapak Bangsa India, Mohandas Karamchand Gandhi dalam melawan penjajahan Inggris. Tujuh dosa sosial yang dikhawatirkan Gandhi mewabah dalam kehidupan bangsa India. Sehingga muncullah realitas masyarakat India yang jatuh dalam tujuh dosa sosial tadi, yakni kekayaan tanpa kerja keras, pendidikan tanpa karakter, kesenangan tanpa nurani, agama tanpa pengorbanan, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, bisnis tanpa etika moralitas, dan politik tanpa prinsip.

Penuturan yang rinci mengenai sejarah, geografi, eksotika budaya dan kehidupan bangsa India kontemporer memperlihatkan betapa novel yang menggunakan gaya bertutur multi plot dan multi narator ini ditulis berdasarkan riset yang mendalam. Bagi kita pembaca Indonesia, membaca realitas India yang digambarkan Vikas, seperti melihat kondisi Indonesia.

Vikas Swarup adalah seorang diplomat yang dikenal di pentas sastra dunia sejak novel pertamanya ‘Q&A’. Novel pertamanya ini kemudian difilmkan menjadi “Slumdog Millionaire” oleh sutradara Inggris Danny Boyle. Film yang memenangi sejumlah penghargaan di ajang Oscar 2009 tersebut sempat menuai protes keras dari pemerintah dan masyarakat India— negeri yang kerap memenangi kontes ratu kecantikan sejagat ini— lantaran dianggap telah melecehkan kehormatan bangsa India dan menjualnya dengan harga yang murah. Tak kurang dari aktor India legendaris, Amitabh Bachchan, turut melancarkan protes.

Seperti novel pertamanya tersebut, ‘Six Suspect’ telah diterjemahkan ke dalam 24 bahasa dan akan segera pula difilmkan.

Judul : Six Suspect; Pembunuhan Pun Mengenal Kasta
Penulis : Vikas Swarup
Penerbit : Bentang, Yogyakarta
Cetakan : 1, Mei 2010
Tebal : 659 halaman
Harga : Rp 73.000
ISBN:978-602-8811-00-2

Minggu, 20 Juni 2010

Melacak Jejak Orang Arab di Nusantara



Hubungan Nusantara dengan Bangsa Arab terjalin sejak abad pertengahan melalui hubungan dagang yang cukup erat. Melalui mereka pula Islam diperkenalkan di tanah Nusantara. Sumatera merupakan pulau yang pertama mereka singgahi di Nusantara sebelum kemudian ke Jawa pada abad XVIII.

Bangsa Arab Hadramaut deras mengalir ke pulau-pulau Nusantara sejak tahun 1870, ketika pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat. Tujuan utama mereka pada mulanya adalah menjalin hubungan dagang. Sebagian kecil saja yang datang dengan misi secara khusus memperkenalkan Islam.

Buku hasil penelitian L.W.C. Van den Berg ini memaparkan, di Jawa pendatang-pendatang Arab membentuk koloni-koloni. Enam koloni besar Arab ada di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Mereka dengan cepat melakukan asimilasi dengan penduduk lokal. Kehadiran mereka mengkhawatirkan bagi dominasi penjajah Belanda.

Buku yang berjudul asli Le Hadhramout et les Colonies Arabes Dans I’ Archipel Indien, ini tidak hanya memaparkan sejarah kedatangan Orang Arab di Nusantara, tapi juga memetakan geografi Hadramaut, penduduk dan pemerintahan di Hadramaut, kepercayan, sampai kepada perbedaan antara Orang Arab di Nusantara dan Orang Arab di Hadramaut. Serta merinci ciri-ciri koloni-koloni Arab yang ada di Nusantara.

Terbit pertama kali pada 1886, penelitian L.W.C. van den Berg ini memang untuk menjawab keresahan pemerintah kolonial Belanda yang mencurigai kedatangan Orang Arab di Nusantara membawa ancaman besar. Berg mempelajari objek dominasi kolonial, seperti tanah jajahan dan penduduknya, membuat klasifikasi atas objek-objek tersebut. Penelitian ini dijadikan proyek pemerintah Kolonial Belanda guna mempelajari kebiasaan, aktifitas, dan aspirasi politik komunitas Arab di Nusantara. Hasil penelitian Berg kemudian terbukti bahwa kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda tentang ancaman Orang Arab atas dominasi mereka di Nusantara hanya ilusi.

Secara rinci studi L.W.C. van den Berg membuktikan bahwa Orang Arab tidak menentang dominasi pemerintahan kolonial Belanda. Berg juga mengungkap kekeliruan anggapan yang menyebutkan bahwa pengaruh Arab terhadap priagung Pribumi di Nusantara adalah berkat atribut budaya mereka yang diikat oleh kesamaan agama. Karena, jika ini benar, Berg mempertanyakan bagaimana menjelaskan sejarah Jawa yang menyebutkan bahwa pada abad XV bangsa Arab mendirikan sejumlah kerajaan kecil di sepanjang pantai utara pulau tersebut dan akhirnya berhasil meruntuhkan kekuasaan Hindu Majapahit?

Pemerintan kolonial Belanda justru memperoleh keuntungan dari pengaruh orang Arab terhadap para priagung Pribumi. Orang Arab sangat loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Dalam setiap pertikaian antara rakyat pribumi dan pemerintah kolonial, Orang Arab hampir selalu membela pemerintah Kolonial Belanda. Loyalitas orang Arab kepada Belanda kemudian dibalas dengan pemberian gelar kebangsawanan tertinggi.

Data Buku
Judul : Orang Arab di Nusantara
Penulis : L.W.C. Van den Berg
Cetakan : I, April 2010
Penerbit : Komunitas Bambu
Tebal : liii + 214 halaman
ISBN : 979-371-79-6
Harga : Rp60.000

Senin, 07 Juni 2010

Pengembaraan Sebelum Menikah



Dorongan pertama untuk membaca buku “Sastra Pranikah’ ini adalah penulisnya pernah tinggal di satu kecamatan yang sama dengan saya. Ditambah ilustrasi cover-nya yang sangat akrab dengan masa kecil saya. Burok dan cerobong pabrik gula. Saya makin bergairah manakala ada penjelasan bahwa ini merupakan buku autobiografi. Saya segera menyusuri ingatan masa kecil saya, dan mulai berharap-harap ada persinggungan dengan kehidupan masa kanak saya yang berkaitan dengan pabrik gula dan burok.

Ketika membaca halaman pertama, saya segera tahu betapa dorongan-dorongan di atas tidak saya perlukan lagi. Cara bertutur dan logika bahasanya langsung membetot dan menghanyutkan saya pada halaman-halaman berikutnya sampai tahu-tahu mentok di halaman 200. Saya kemudian mengira-ngira apa rupanya yang membuat saya demikian menikmati tulisan Nyi Vinon di luar perkara cara dan kelancaran bertutur serta logika bahasa. Ternyata jelas bukan semata kisah perjalanan hidup Nyi Vinon, termasuk setting beberapa peristiwa yang ditulisanya.

Sebab, terus terang saja tak ada yang istimewa dengan perjalanan hidup Nyi Vinon. Bukan lantaran rentang waktunya yang pendek—usia Ny Vinon belum lagi setengah abad. Ia ‘hanya’ anak seorang pegawai pabrik gula keturunan bangsawan yang kerap berpindah pindah tugas, pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke Austarlia, kuliah di Bandung, menjadi arsitek, bekerja di LSM, melakukan riset di Bali. Yang menjadi daya pikat bagi saya adalah penyajian, cara pandang, dan pikiran-pikiran Vinon, baik pada dunia di luar maupun dalam dirinya. Serta pengetahuan sejarah yang dimilikinya. Acap Vinon melihat suatu obyek dengan menggali dan mengaitkanya pada sejarah yang tampaknya cukup dikuasainya. Termasuk sejarah geografi dan sosiologi, membuat tulisannya begitu basah dan kaya.

Vinon menuturkan kisah perjalanan hidupnya tidak secara runut dan subtil, melainkan melompat-lompat dari satu peristiwa ke peristiwa yang dianggap paling menarik. Dan saya kira dia berhasil melakukannya. Strategi ini menghindarkannya dari kesan membosankan. Peristiwa-peristiwa yang biasa saja, persoalan-persoalan yang wajar dan remeh menjadi punya makna baru lantaran cara pandang dan penyikapan Vinon terhadap persoalan tersebut. Sering Vinon memaparkan pikirannya semata, lantas mencomot beberapa kisah perjalanan hidupnya baik waktu SD, SMA, semasa mahasiswa, dan masa kini, untuk diperiksa dan diberi pemaknaan baru. Dan yang paling penting semua diuturkan Vinon secara jujur, santai namun mendalam dan, lagi-lagi, penuh permainan logika bahasa.

Pada usia empat tahun ibunya mengira Nyi Vinon berbakat jadi teroris, padahal ia menyimpan cita-cita jadi peragawati. Cita-cita ini sempat kesampaian secara kebetulan saat berada di Australia—tidak ada keterangan tahun kejadiannya (saya menduga saat pertukaran pelajar). Nyi Vinon tidak perlu menanggalkan pakaian dalam demi kerapihan pakaian yang diperagakan seperti umumnya peragawati profesional. Urusan pakaian dalam ini tidak ada hubungannya dengan idealisme apa pun selain semata pilihan—atau bisa saja kebiasaan.

Pandangan-pandangan Vinon terkait dengan agama pun secara gamblang dapat saya tangkap. Misalnya, bagi Vinon betapa menjadi seorang muslimah yang ‘sesuai’ syariah itu sangat mahal dan merepotkan. Bagi Vinon agama tak lebih sebagai hobi. Dalam konteks sepasang suami istri, hendaknya mereka bisa menghargai hobi masing-masing Tidak perlu saling memaksakan hobi. Saya juga ditunjukkan pada pandangannya tentang feminisme, Tuhan, pluralisme, takdir, surga neraka, jilbab. Surga menurutnya sebuah tempat yang membosankan. Karena manusia yang masuk ke sana akan mengalami melulu kenikmatan. Artinya, neraka pun bukan sesuatu yang mengerikan karena penderitaan yang terus menerus akan melahirkan kekebalan.

Kadang memang saya merasa Vinon seperti sedang berkhotbah ketika memaparkan sikap-sikapnya, terendus nada sok pintar dan menggurui. Tetapi sungguh itu bisa maafkan karena ditopang argumentasi dengan logika yang kuat. Saya membayangkan setelah buku ini Vinon menulis novel.

Upaya Membuat Kritik Sastra


(resensi ini disiarkan di Lampung Post, Minggu 6 Juni 2010)

JIKA kita sepakat bahwa esai, ulasan singkat, resensi buku sastra, yang tumbuh di koran-koran layak disebut sebagai kritik sastra, agaknya keresahan, keluhan, kecemasan sebagian kalangan pengamat dan praktisi sastra akan kelangkaan kritik sastra, menjadi tidak beralasan.

Hampir setiap minggu sejumlah koran dan majalah menyediakan ruang untuk esai, ulasan, resensi buku sastra, wawancara, serta reportase perihal kegiatan diskusi sastra. Dari tulisan-tulisan pendek tersebut kadang pula tersulut polemik yang saling bersahut-sahutan. Kadang sahut-sahutan yang terjadi tidak hanya muncul dari koran yang memuat tulisan yang memicu polemik, tapi juga dari koran-koran lain. Polemik yang terjadi dan tersebar luaskan oleh media itu meski acap tidak bersandar pada penelitian mendalam terhadap tema atau gagasan yang diperdebatkan, tapi pelak merangsang dinamika pemikiran sastra.

Model kritik sastra semacam itulah kiranya yang disodorkan buku Darah Daging Sastra Indonesia karya Damhuri Muhmmad. Buku ini tak lain memang kumpulan tulisan berupa esai, ulasan, resensi buku sastra yang sebelumnya terserak di sejumlah koran dan majalah. Tidak salah jika menyebut buku ini serupa kliping. Pula, sejak awal tulisan ini diniatkan untuk media koran dan majalah umum yang tidak menyediakan ruang yang cukup leluasa untuk menggelar kritik sastra. Sehingga membaca buku ini tidak harus secara runut dari halaman pertama sampai halaman akhir. Tapi bisa memilih dari halaman mana pun yang dianggap paling menarik. Panjang setiap tulisan pun tidak lebih dari dua sampai tiga halaman.

Melalui buku ini Damhuri seakan hendak memaklumatkan bahwa tindakan kritik sastra tidak selalu harus berupa tulisan-tulisan panjang berlumur teori-teori sastra mentereng yang dalam banyak kasus justru merumitkan pemahaman terhadap karya—yang bagi orang kebanyakan sudah rumit--yang diulas, sehingga makin menjauhkan sastra dari masyarakat luas. Kritik sastra model resensi buku dan ulasan ringkas pun sanggup menjadi kritik yang bermanfaat jika ditulis dengan perangkat yang memadai serta kesungguhan menyelam ke dalam teks secara intens dan integral. Yakni kritik sastra yang, sebagaimana diungkap Suminto A. Sayuti (2005), disiapkan dalam kerangka instrumental, regulatif, interaktif, dan respresentatif.

Terbukti, meski model kritik yang diamalkan Damhuri sangat ringkas, hanya butuh waktu 10--15 menit membacanya, tidak lantas batal menjadi sebuah kritik sastra yang tajam dan inspiratif. Bahkan, justru karena keringkasannya ulasan jadi lebih fokus, langsung menukik, sehingga dengan segera dapat menunjukkan kekuatan dan kelemahan teks sastra yang diulasnya. Ini tentu didukung ketekunan Damhuri dalam menyelam ke dalam darah daging teks, membedahnya dengan perangkat yang memadai.

Penguasaan Damhuri atas perangkat yang dipergunakannya, ditambah ilmu filsafat yang digelutinya, setiap ulasan yang ditulisnya hadir dengan pola penuturan dan bahasa yang jernih sehingga mudah dipahami. Misalkan pada tulisan Sastra (A) Moral? (hlm. 11). Esai yang merupakan respons atas esai Richard Oh, dengan gemilang menelanjangi kekeliruan lontaran pemikiran Richard Oh perkara moral dalam sastra. Demikian pula tulisan yang mengulas Glonggong, novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta (2006) karya Junaedi Setiyono. Secara cerdas dan telak Damhuri mementahkan pelabelan novel sejarah yang diberikan para juri terhadap novel tersebut. Hanya, pada tulisan Ikhtiar Menyelamat Puisi, Damhuri tampak kurang mampu menyembunyikan nada emosionalnya. Juga frase "penyair muda" pada tulisan yang mengulas kumpulan puisi Esha Tegar Putra (hal.158). Frase ini mungkin maksudnya dialamatkan pada hitungan usia si penyair, bukan hitungan mutu kepenyairan si penyair.

Secara umum kritik-kritik Damhuri terbebas dari semangat memaki setengah mati di satu sisi dan memuji setinggi langit di sisi lain. Ulasan-ulasan Damhuri tampil dengan imbang. Berlawanan dengan sebagaimana yang dilakukan kritikus-kritikus sastra yang menurutnya lebih pantas disebut tikus-tikus sastra yang perlu dibasmi?

Akhirnya, kehadiran buku ini selain bisa digunakan sebagai bahan belajar menulis karya sastra sekaligus menulis kritik sastra, akan menambah historiograpi sastra Indonesia.

Sabtu, 05 Juni 2010

Kisah Sehari-hari dari Dua Perempuan Pengarang



“Cinta dalam Belanga” ini kumpulan cerpen Ambhita Dhyaningrum; aku memperolehnya pada acara bookfair di Gelora Bung Karno, Jakarta, Maret 2010 silam. Tampilan cover buku terbitan Kakilangit Kencana ini terlihat kurang mengundang orang buat meraih dan membukanya di antara tumpukan buku lainnya. Hitam putih, dan warna merah mengkilap pada judul yang tercetak dengan huruf besar semua. Aku memperolehnya bersama beberapa buku fiksi lain.

Mungkin lantaran tampilan yang kurang mengundang tersebut aku tidak segera membacanya. Membiarkannya mengonggok di kamar berminggu-minggu. Yanusa Nugroho yang memberi endorsmen di sampul belakang buku ini tak juga kuasa membetot minatku. Setelah kehabisan buku untuk kubaca, barulah aku menyentuhnya. “Tak mudah menuliskan cerita yang sehari-hari” demikian kira-kira bunyi endorsmen Yanusa. Rupanya aku tak sepenuhnya sepakat dengan Yanusa. Karena ternyata cerita-cerita yang ditulis Ambhita tidak sepenuhnya kisah yang menyehari-hari juga. Ada segugus kisah cinta yang rumit antara sepasang gay. Kisah cinta tak sampai yang sungguh tidak sederhana. Namun semua memang ditulis dengan cara yang lugu dan tak berkehendak bergenit-genit ria dengan bentuk. Hampir semua seputar persoalan cinta. Tentu bukan hanya cinta lelaki kepada perempuan. Melainkan cinta sejenis, cinta keponakan kepada pamannya yang gendeng, dan seterusnya. Tokoh-tokohnya datang dari beragam kelas sosial. Disajikan dengan bahasa tutur yang lurus, gamblang, dan hampir tanpa metafora.



Buku lainnya yang kuperoleh sebulan sesudahnya adalah karya perempuan pengarang juga: “Mantra Maira” besutan Sofie Dewayani. Berbeda dengan Ambhita, buku ini terkesan lebih “angker”. Terutama manakala membaca judul pengantar buku ini yang ditulis Faruk HT. Coba dengar “Keluar dari Tulisan: sebuah Ujicoba Sastra Pasca-aksara”.

Menurut Faruk, cerpen-cerpen yang ditulis Sofie adalah sastra yang keluar dari tulisan dalam pemahaman Barat. Faruk mengingatkan, sastra berarti tulisan dan tulisan itu sendiri merupakan representasi bahasa. Tapi tentu saja, lanjut Faruk, tidak semua tulisan adalah sastra.

Dari sana kita kemudian diberi tahu betapa paham mengenai tulisan rupanya tidak tunggal, melainkan beragam. Nah, cerpen-cerpen Sofie ini menurut Faruk keluar dari jenis paham tentang tulisan yang dikembangkan Barat, yakni bahwa tulisan merupakan kekuatan kultural yang mampu membuat penggunanya menjadi individual, melakukan abstraksi, memilah dan menganalisis informasi, memberi daya reflektif dan kritis. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki dan diberikan bahasa lisan yang cenderung komunal. Inikah rupanya yang dimaksud pasca-aksara? Sila Anda menjawab sendiri.

Dalam menuliskan cerpennya Sofie memilih menggunakan kekuatan literer yang lebih padat ketimbang Ambhita. Cara pengisahan yang ditempuh Sofie lebih terasa melakukan upaya keras untuk keluar dari gaya bertutur bahas lisan. Sedangkan kisah-kisah yang dianyamnya tidak jauh berbeda dengan Ambhita. Maksud saya tidak kurang menyehari dari Ambhita. Hanya, Sofie cenderung memilih lebih jeli dan telaten. Lihat saja cerpen “Bangku Belakang”, kisah yang mengangkat tentang masyarakat yang hidup dalam jerat situs jejaring sosial dunia maya yang menumbuhkan naluri narsistik penuh citra. Bukankah tema ini sangat menyehari?

Aku membaca dua buku karya dua perempuan pengarang ini secara selang seling saban menjelang tidur, seraya menanti datangnya kiriman buku baru. Hmm…

Senin, 10 Mei 2010

Upaya Menciptakan Dunia Baru



(Resensi ini dimuat Kompas, 9 Mei 2010)

Kekokohan teks cerpen dapat ditakar dari kemampuannya menciptakan dunia tersendiri yang berbeda dari realitas keseharian. Agus Noor, penulis buku ”Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia” ini, berhasil menaklukan bahasa sebagai media kerjanya untuk menyampaikan gagasan.

Agus Noor menjadi representasi pengarang yang memercayai bahasa bukan semata alat bercerita, melainkan perangkat untuk membangun dunia baru. Teks cerpen Agus Noor menghadirkan eksplorasi bahasa yang meluapkan keserba-mungkinan makna, sekaligus menyajikan realitas imajinasi yang bisa ”disentuh”.

Teks-teks cerpen dalam buku Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia ini saling menghidupi antara realitas keseharian dan dunia imajinasi yang diciptakan melalui pergulatan dan penjelajahan berbahasa. Kedua entitas berbeda ini hadir secara bersamaan dan harmonis menjalin ”dunia kisah tersendiri” yang kaya dengan kejutan dan menyegarkan. Strategi serupa berlaku juga dalam cara kerja kesadaran anak-anak mencerap dan memaknai dunia yang baru dikenalnya. Rupanya, asumsi ini disiratkan secara lembut sekaligus tegas dalam cerpen Kartu Pos dari Surga, yang bertutur mengenai pertemuan Beningnya, bocah perempuan, dengan ibunya yang telah gugur dalam kecelakaan pesawat.

Nilai reflektif
Cerpen ini tidak hanya menyajikan dunia rekaan yang menyentak realitas keseharian, tetapi juga memiliki nilai-nilai reflektif atas realitas sosial. Misalnya, menyentil ketidakmampuan negara dalam menyediakan moda angkutan yang menjamin keselamatan rakyatnya.

Modus semacam itu juga bertebaran pada cerpen Pemetik Air Mata, Penyemai Sunyi, Penjahit Kesedihan, dan Pelancong Kepedihan, yang tersusun dalam Empat Cerita Buat Cinta. Demikian pula pada cerpen Serenada Kunang-Kunang dalam Cerita yang Menetes dari Pohon Natal, Permen, serta sejumlah fiksi mini yang menyusun 20 Keping Puzzle Cerita.

Salah satu cerpen berjudul Perihal Orang Miskin yang Berbahagia yang mengolok-olok persoalan ketimpangan sosial dengan cara satir sekaligus ironik, saya kutipkan berikut ini.

”AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari Kelurahan. '”Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena dilaminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dompetnya yang lecek dan kosong.
”Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.” (hlm 153).

Melalui metafora permen pada cerpen Permen, secara cerdas Agus Noor tidak hanya menggiring pembaca untuk menengok persoalan keluarga, tetapi juga problem krusial yang merundung negeri ini, yaitu kemiskinan. Dengan permainan bahasa dan cara bercerita yang meliuk-liuk dicampur dengan dunia dongeng, hal remeh-temeh di tangan Agus Noor menjadi penting dan memiliki daya renung. Pada saat bersamaan, ia juga sanggup mengetengahkan persoalan gawat menjadi enteng belaka.

Kehilangan kepekaan
Hanya, terlalu bergeloranya semangat Agus Noor melakukan penjelajahan bahasa dan eksperimentasi gaya bercerita serta kehendak menampilkan dunia tersendiri mengakibatkan sentilan-sentilannya terhadap penyimpangan negara dalam bekerja terdengar sayup-sayup. Bahkan, pada titik tertentu sekadar tempelan atau sekadar pintu masuk untuk menciptakan dunia baru. Tidak tampak tendensi untuk melakukan perlawanan pada teks-teks cerpen tersebut sehingga pengarang terkesan kehilangan kepekaannya pada cerita itu sendiri.

Namun, justru di situlah kiranya yang menjadi salah satu kekuatan cerpen-cerpen ini. Agus Noor dengan sengaja menghindarkan teks-teks cerpen yang dibangunnya dari beban pesan sosial politik yang berpotensi membatalkan hakikat sastra sebagai teks yang banyak mengandung makna. Pola ini tak pelak memperlihatkan kelenturan Agus Noor mengolah realitas keseharian menjadi dunia rekaan yang mempunyai alur dan logikanya sendiri serta kemampuannya menjaga tarik-menarik antara bentuk dan isi.

Cerpen-cerpen lainnya, yakni Cerita yang Menetes dari Pohon Natal, Episode, Variasi bagi Kematian yang Seksi, dan terutama Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, yang dijadikan judul kumpulan cerpen ini, memperlihatkan upaya sangat keras Agus Noor menciptakan dunia baru yang kaya dengan metafor-metafor unik dan otentik, seperti kata Happy Salma yang tertera di sampul belakang buku ini.

Eksperimentasi bentuk yang diketengahkan pada beberapa cerita ialah bagaimana Agus Noor menciptakan teks cerpen dengan bahan dari cerpen yang telah ada. Seperti montase. Misalnya, cerpen Pemetik Air Mata dan Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Pada cerpen Pemetik Air Mata, Agus bermain-main dengan bahan dari cerpen Pelajaran Mengarang karangan Seno Gumira Ajidarma.

Hasilnya, Pemetik Air Mata hadir seperti melanjutkan cerpen Pelajaran Mengarang, seraya melengkapi beberapa bagian dengan alur baru dan detail yang memikat. Jika pada cerpen Pelajaran Mengarang Sandra merupakan bocah perempuan yang resah dengan pekerjaan melacur yang dijalani ibunya, pada Pemetik Air Mata Sandra telah tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa yang cemas bagaimana menceritakan status perkawinannya kepada Bita, anaknya.

Demikian pula Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Agus Noor habis-habisan mengolah dan meramu bahan dari sejumlah cerpen Seno, lalu melahirkannya kembali dalam wujud baru yang makin kaya. Kelenturan Agus Noor menjahit kisah dan memperlakukan bahasa memungkinkan jalan eksperimentasi yang ditempuhnya terhindar dari risiko terjadinya pengulangan-pengulangan yang membosankan.

Pencarian Gila Bocah Ateis



Apakah yang akan kita lakukan sebagai bukti cinta untuk orang terdekat ketika ia meninggal? Mungkin kita akan mengerjakan pesan-pesan yang diwasiatkan kendati bisa saja hal tersebut tidak berguna bagi si pemberi wasiat. Untuk persoalan satu ini biasanya orang terpaksa mengabaikan pertanyaan, berguna atau sia-siakah langkah yang dilakukan? Perkara berguna atau sia-sia, akhirnya memang relatif karena tidak ada ukuran yang sama bagi setiap orang untuk men-just suatu tindakan sebagai berguna atau sebaliknya.

Pertanyaan ini agaknya yang ingin didedahkan Jonathan Safran Foer, pengarang dan seorang aktor Holywood, melalui novel keduanya Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring dan Sungguh-Sungguh Dekat). Oskar Schell, bocah berusia 9 tahun tokoh sentral novel ini, terobsesi membuktikan kecintaannya pada sang ayah Thomas Schell, yang tewas pada peristiwa kehancuran menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, atau yang dikenal sebagai peristiwa 9/11. Oskar melakukan sesuatu yang bagi nalar umum sangat konyol. Kelakuan konyol ini dimulai ketika ia secara tidak sengaja menemukan sebuah anak kunci dan catatan berisi wasiat, setahun setelah kematian ayahnya.

Bocah ateis itu menjelajahi kelima sektor New York (Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island, dan Bronx) demi mencari lubang kunci yang pas bagi anak kunci yang ditemukannya. Dalam perhitungannya sendiri, ada satu anak kunci lahir setiap 2,777 detik. Dalam pencarian ini Oskar terlibat langsung dalam kemelut kehidupan orang-orang yang tak dikenalnya. Bagi pembaca Indonesia, petualangan Oskar ini jadi bisa lubang untuk mengintip kehidupan masyarakat kota kosmopolitan New York.

Oskar merupakan potret bocah jenius yang lahir dan tumbuh di belantara New York yang super sibuk. Kejeniusan seringkali memang sulit dibedakan dari kegilaan. Kepalanya selalu dipenuhi hasrat mencoba dan mengetahui segala hal. Jangan pernah coba-coba membuat cerita tak masuk akal di hadapan bocah jenis ini. Kau bisa dibikin keki dan malu sendiri. Apapun yang dilihatnya selalu memunculkan keheranan dan pertanyaan kenapa semua bisa terjadi. Mulai dari pertanyaan mendasar yang sangat filosofis, kenapa alam semesta tercipta dan manusia ada? Oskar menampik ketika sang ayah menjelaskan bahwa bayi lahir karena pertemuan sel sperma dengan sel telur. Karena bagi Oskar, itu jawaban untuk pertanyaan ‘bagaimana’ bukan ‘kenapa’ manusia lahir?
Kecerdasan yang luar biasa bocah ateis ini tak pelak kemudian melahirkan pola hubungan orangtua-anak yang unik. Kesejajaran orang tua dan anak yang di negeri seliberal Amerika sekalipun terlihat tidak lumrah. Oskar gemar mengkritik perilaku ibunya dalam hal berpacaran.

Dari kecerdasan semacam itu pula muncul gagasan-gagasan gila yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat modern. Misalkan membuat makam bersusun ke atas untuk mengatasi lahan yang tak pernah bertambah luas sementara manusia terus berlahiran. Taburan pertanyaan filosofis menjadikan novel bertema inti tentang pencarian jati diri seorang pra-remaja Oskar Schell, sangat merangsang petualangan pikiran.

Secara sepintas novel ini juga menyinggung perihal trauma dan kebencian pada ras tertentu sebagai dampak dari peristiwa 9/11 yang kemudian hari memicu isu terorisme internasional.

Penyajian novel ini terlihat unik. Bukan karena alur bergerak melalui tiga penutur—baik dalam bentuk surat, transkrip wawancara, maupun tuturan langsung—, melainkan menggabungkan teks dengan unsur visual yang memperkuat teks. Pembaca akan menjumpai halaman-halaman kosong, memburam, lalu hitam sepenuhnya. Juga foto-foto dan coretan-coretan dengan tinta aneka warna yang selintas mengesankan novel ini sedang dalam proses pengeditan atau bahkan mengalami kecelakaan cetak. Gaya serupa ini waktu pertama kali muncul di Amerika melalui novel pertama Jonathan Everything Is Illuminated (2002) cukup mengundang kontroversi. Saat ini tentu saja gaya seperti ini sudah tidak lagi memberikan kesegaran. Dalam sastra Indonesia, jauh-jauh hari Danarto telah melakukannya melalui kumpulan cerpen Adam Ma’rifat.

Kuatnya unsur visual ini menjadi tantangan tak ringan ketika novel ini diterjemahkan kepada bahasa lain. Tapi syukurlah penerjemahan novel ini ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan dengan cukup baik.


Judul buku : Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring
dan Sungguh-Sungguh Dekat)
Penulis : Jonathan Safran Foer
Penerjemah : Antie Nugrahani
Penerbit : Mahda Books
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : 430 hlm