Minggu, 21 Februari 2010

Berpadunya Ilmu Silat dan Ilmu Surat













(Versi lengkap resensi yang dimuat Lampung Post, Minggu, 21 Maret 2010)

Aku sudah mengundurkan diri dari dunia persilatan—tapi mereka terus memburuku bahkan sampai ke dalam mimpi. Apakah yang belum kulakukan untuk menghukum diriku sendiri, atas nama masa laluku yang jumawa, dan penuh semangat penaklukan, setelah mengasingkan diri begitu lama, dan memang begitu lama sehingga semestinyalah kini tiada seorang manusia pun mengenal diriku lagi?


Demikian Seno Gumira Ajidarma membuka novel silat Nagabumi—buku kesatu Jurus Tanpa Bentuk. Sebuah pembuka dengan kalimat khas Seno yang segera membetot pembaca untuk terus mengikuti kisah sampai tuntas. Kalimat-kalimat panjang tapi sama sekali tidak bertele-tele sehingga amat efektif untuk sebuah novel silat berketebalan lebih dari 800 halaman. Jurus pembuka yang tidak hanya indah secara gaya bahasa, tapi juga langsung menghidupkan imajinasi pembaca tentang dunia persilatan yang tak pernah mereka lihat dalam dunia keseharian tapi entah bagaimana caranya terasa begitu nyata seolah pernah mengalaminya langsung. Bagaimana mungkin seorang pembaca seperti saya mengalami dunia persilatan (yang penuh pertarungan fisik menggunakan pedang, tenaga dalam, sihir dan sejenisnya) sedangkan saya hidup dalam era di mana faks, telepon selular, internet, menjadi kebutuhan yang semakin mustahil ditinggalkan?

Mungkin inilah menakjubkannya huruf-huruf sebagaimana dituturkan Pendekar Tanpa Nama, sang tokoh utama novel ini, bahwa:… sungguh ilmu surat itu dibandingkan ilmu silat tiada kalah mempesona. Aku tinggal mengguratkan aksara, maka terhamparlah padang-padang hijau dengan latar belakang gunung nan ungu sementara mega-mega berarakan melewatinnya (hal. 757)

Meski tidak pernah mengalami dunia persilatan, sejak kanak saya telah ‘akrab’ dengannya. Tidak syak lagi ‘keakraban’ tersebut berawal dari kegemaran saya (dan kawan-kawan masa kanak itu) pada sandiwara radio Saur Sepuh, Turut Tinular, Api di Bukit Menoreh dan sejenisnya. Saban mendengar sandiwara radio tersebut dengan latar cerita masa kebangkitan dan keruntuhan kerajaan-kerajaan di Nusantara, imajinasi saya tentang kehidupan di dunia persilatan tumbuh subur. Ditambah pula dengan bacaan cerita silat yang juga populer kala itu, macam karya Asmaran S Kho Ping Ho, Wiro Sableng, Panji Wungu dan lain-lain. Masa itu rasa-rasanya saya bahkan kerepotan untuk menganggap bahwa itu hanya sebuah cerita, sebuah dongeng. Adegan pertarungan yang seru, kejar-kejaran dengan ilmu meringkan tubuh, melenting dari bubungan rumah ke ranting pohon. Sabetan dan benturan pedang, luncuran anak panah, ledakan api dari benturan tenaga dalam, serta rangkaian ketegangan lainnya, bagai tertanam abadi dalam imajinasi saya. Mungkin sebab itu pula saya selalu tergoda setiap melihat buku atau apa pun yang akan menyeret imajinasi saya ke sana.

Kisah-kisah persilatan tidak melulu mengetengahkan pertarungan-pertarungan seru, tapi juga intrik politik, bahkan ungkapan-ungkapan filsafat kadang berhamburan di sana secara bersahaja. Dan, manakala saya membaca novel ini, saya seperti kembali pada masa-masa itu. Imajinasi saya tentang dunia persilatan mekar lagi dengan riang gembira. Saya seperti menemukan dunia yang sempat hilang itu. Dan kini ia hadir makin mengasyikkan, bukan saja lantaran logika ceritanya yang terjalin baik dengan kompleksitas yang meyakinkan, tapi juga ditulis dengan sentuhan bahasa sastra yang menghanyutkan. Lihatlah cara Seno menggambarkan adegan pertarungan dengan demikian detil, seperti ini:

Aku jungkir balik ke atas tiga kali untuk membuat jarak, tetapi ia menjejak pohon dan mengejarku. Aku menggerakkan tangan ke depan, mengeluarkan Jurus Naga Mendorong Angin yang jarang sekali kugunakan. Ia terlontar kembali ke bawah, kulihat sebatang seruling bambu melayang pelan di udara. Aku menarik napas, tubuhku menjadi sangat ringan dan tidak segera kembali ke bumi, sehingga bisa kuraih seruling itu dan meniupnya sembari turun perlahan-lahan.
(hal. 36-37)

Kisahnya berpusat dari Pendekar Tanpa Nama yang terpaksa harus turun gunung dari pertapaanya lantaran sepasukan rajya-pariraksa atau pengawal kotaraja memburu dan hendak membunuhnya di dalam gua pertapaan. Bahkan pendekar-pendekar top dari sungai telaga dunia persilatan turut mengejarnya dengan maksud sama. Rajya-pariraksa dengan mudah dilumpuhkannya cuma dengan ludahnya yang semprotan ke mata mereka. Begini: Pedang itu belum tercabut dari sarungnya ketika terdengar jeritan memecah kesunyian. Sesosok bayangan jatuh terbanting dan menjerit terguling-guling di dasar gua. “Aaaaaahhh! Mataku! Mataku!” (hal.12)

Dari perjalanan Pendekar Tanpa Nama dalam upaya mengungkap latar belakang perburuan mereka itulah cerita bergulir. Pada masa lalu dia memang pernah mengukir sejarah yang penuh pertumpahan darah. Dia melakukan pembantaian 100 orang pendekar dalam sebuah pertarungan untuk mencapai gelar pendekar tak terkalahkan. Namun, tentulah tidak mudah untuk mengungkap penyebab mereka menginginkan kematiannya. Maka Pendekar Tanpa nama yang kini berusia seabad itu mencoba merangkai ingatannya dengan menuliskannya dalam lempir-lempir keropak rontal.

Begitulah, dari sana terhamparlah perjalanan masa kanak, masa belia, dan masa pencapaian ketinggian ilmunya sehingga ia menjadi pendekar tak terkalahkan. Sebuah perjalanan yang penuh petualangan mendebarkan. Ia memasuki masa muda saat Rakai Panunggalan berkuasa di Mataram menggantikan Rakai Panangkaran. Masa ketika candi Borobudur atau Kamulan Bhumisambhara mulai dibangun. Pembangunan candi yang menelan banyak korban rakyat jelata pun tak urung menjadi salah satu episode perjalanan
Sang Pendekar yang menganut paham golongan tengah, yakni golongan yang tak berdiri dalam dua barisan besar yang saling memusnahkan: aliran hitam dan aliran putih. Pendekar Tanpa Nama menghasut rakyat jelata menolak kerja paksa dalam proyek raksasa pembangunan candi.

Dalam buku pertama ini belum terungkap apa sebenarnya yang melatarbelakangi para pendekar dan pasukan khusus istana memburunya. Bahkan asal usul Pendekar Tanpa Nama pun masih gelap, selain bahwa ia diselamatkan oleh pasangan pendekar bernama Sepasang Naga dari Celah Kledung dalam gendongan perempuan yang diduga bukan orang tuanya yang dirampok di tengah perjalanan menggunakan pedati.

Melalui perjalanan menyusuri masa muda sang Pendekar Tanpa Nama itu pula kita mengetahui karut marut perpolitikan masa itu yang penuh intrik, perebutan pengaruh dan kekuasaan yang mengatasnamakan agama. Kedatangan kepercayaan baru yang menyisihkan kepercayaan lama. Ah, tidakkah ini sangat kontekstual dengan perpolitikan dunia sepanjang masa? Bagaimana agama diperalat habis-habisan untuk mencapai kekuasaan dan kekayaan? Rakyat jelata yang tidak pernah bermasalah dengan keberadaan dan kedatangan kepercayaan-kepercayaan baru mana pun harus menanggung peperangan yang menyengsarakan.

Novel ini terdiri dari 100 bab. Setiap bab rata-rata terdiri dari 6 sampai 8 halaman. Strategi pembagian bab ini kiranya sangat efektif sebagai jeda untuk memberi kesempatan kepada pembaca menarik nafas. Halaman akhir setiap bab nyaris selalu menyisakan adegan pertarungan atau kelebat bayangan yang sungguh-sungguh seru, menegangkan dan bikin penasaran. Sampai tanpa terasa sampai di halaman terakhir. Dan mendapati diri kita tak tahan menunggu buku kedua? Seperti pembaca lainnya saya berharap buku kedua segera terbit dalam waktu yang tidak terlalu lama supaya kita tidak terlalu lama menderita.

DATA BUKU :

Judul : Nagabumi (buku kesatu: Jurus Tanpa Bentuk)
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : I, November 2009
Tebal : 809 halaman