Senin, 22 Maret 2010

“Nyanyian Batanghari”: Heroisme, Politik, dan Seks


Ini novel pertama Hary B Kori’un, pengarang kelahiran Pati, Jawa Tengah, yang tumbuh dan berkarir di Sumatera. Tepatnya Riau. Saya lebih dulu membaca novel ketiganya “Nyanyian Kemarau” (Kakilangit, November 2009). Setelah membaca novel tersebut, saya tertarik ingin membaca novel Hary yang lain. Syukurlah keinginan saya terwujud. Saya memperolehnya langsung dari pengarangnya, usai acara peluncuran “Nyanyian Kemarau” di Istora Senayan, pekan pertama Maret lalu.

Novel pertamanya ini lebih tebal dari novel ketiganya. Diterbitkan pertama kali pada Agustus 2005 oleh Akar Indonesia, Yogyakarta, kerja sama dengan Yayasan Sagang, Riau. Sebelumnya hadir sebagai cerita bersambung di Harian Republika, sepanjang Januari Maret 2000. Ukurannya pun lebih besar dengan cover merah menyala, terasa lebih mantap di tangan. Dan ternyata lebih menarik. Di luar ketebalan dan ukuran fisik, kedua novel ini memiliki sejumlah kemiripan satu sama lain. Pertama, materi dasarnya, yakni perihal perlawanan seorang jurnalis melawan kekerasan yang dilakukan negara. Kedua seting cerita berlatar kerusuhan Mei 1998. Ketiga, cinta platonis tokoh-tokoh utamanya yang mengalami kegamangan terhadap Tuhan. Keempat gaya pengisahan melalui multinarator.

Kemiripan pertama, yakni antara Rusdi pada “Nyanyian Kemarau” dan Martinus Amin pada “Nyanyian Batanghari” bukan hanya pada profesi keduanya yang sama-sama seorang jurnalis. Melainkan juga karakter/watak dan ideologi keduanya. Mereka sama-sama dicintai sejumlah perempuan dengan latar etnik berbeda. Keduanya pun sama-sama idealis, membela yang tertindas, pembawa semangat pluralis, cenderung sosialis. Dalam kaitannya dengan hubungan seks, mereka cenderung tidak puritan meskipun memiliki basis religiusitas Islam yang kental. Rusdi melakukan hubungan seks di luar nikah dengan Sari, gadis keturunan Tionghoa, tambatan hatinya. Demikian pula Martinus Amin, gandrung berhubungan seks dengan Naomi Kurosawa, koresponden harian The Japan Post di Indonesia, di tengah pelariannya tanpa rasa salah.

Martinus dan Rusdi sama terlibat dalam aksi mahasiswa yang berbuntut kerusuhan Mei 1998. Hanya, jika Martinus terlibat secara langsung sebagai aktifis, sedangkan Rusdi terlibat sebagai pewarta yang menuliskan kerusuhan untuk media tempatnya bekerja.
Keduanya terlibat drama percintaan yang mengharu-biru. Hampir seluruh perempuan pendamba cinta keduanya harus menerima kenyataan pedih ditinggalkan sang pujaan.

Namun bagi saya, tema cinta, politik, dan sejarah, berhasil diramu Hary secara lebih padu pada “Nyanyian Batanghari”. Unsur drama percintaan, heroisme seorang jurnalis idealis, dan latar kerusuhan Mei 1998, tergarap secara lebih detil dan menyentuh. Pertemuan Martinus dengan Katrin, Naomi, dan Sari lebih bisa diterima dan mengena secara logika cerita, ketimbang pertemuan Rusdi dengan Sari dan Aida yang terkesan agak mengada-ada dan serba kebetulan.

Terkisahkan, Katrin, putri Muhammad Baidlawi, pemilik harian Andalas Post, tempat Martinus bekerja sebagai jurnalis, membatalkan pernikahannya dengan Norman, satu hari menjelang akad nikah. Peristiwa yang menggegerkan awak Andalas Pos ini dipicu oleh perasaan cinta Katrin kepada Martinus. Namun pada saat yang sama Martinus justru menghilang dari pekerjaannya. Dari sinilah cerita bergulir melalui penuturan Katrin. Gadis manis nan manja lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti ini mendadak mengubah haluan hidupnya menjadi juru warta. Demikian pula Sari, gadis ini memutuskan menjadi guru di daerah yang jauh dari keramaian lantaran Martinus pernah berpesan untuk datang dan mendidik masyarakat di pelosok Jambi.

Martinus Amin, sang tokoh sentral, yang muncul dengan alur maju mundur melalui pengisahan tiga perempuan yang mencintainya ini terasa lebih bernyawa dan meyakinkan ketimbang Rusdi yang hadir langsung sebagai penutur. Gagasan menghadirkan tokoh sentral melalui pencitraan ketiga penutur yang memiliki hubungan asmara ini, saya kira unik, menarik, dan barangkali segar. Sayangnya, Hary tak utuh menjalankan gagasan ini. Martinus sesekali muncul menuturkan cerita, menjelas-jelaskan pertautan kisah yang dituturkan Katrin, Naomi dan Sari. Pencitraan-pencitraan yang diciptakan tiga perempuan tentang Martinus dengan demikian menjadi buyar dan kehilangan daya kejutnya pada pembaca.

Selesaian kedua novel ini pun serupa, Martinus dan Rusdi sama-sama memilih mengabdikan hidupnya bagi kemanusiaan ketimbang memenuhi harapan Katrin maupun Sari untuk menikah dan hidup bahagia dengan mereka.

Sabtu, 20 Maret 2010

Khotbah tentang Pluralisme



Apakah yang ingin dicapai novelis ketika merekam sejarah bangsa ini ke dalam sebuah novel? Menguatkan semangat patriotisme, melakukan koreksi ataukah sekadar beromantisme belaka? Acek Botak (Kakilangit, 2009), novel pertama Idris Pasaribu, agaknya merangkum ketiga asumsi di atas.

Bercerita tentang perjuangan keluarga Tionghoa meraih masa depannya di Tanah Harapan: Sumatera Utara. Pergolakan yang terjadi di negeri leluhur yang mengancam keselamatan masa depan mendorong orang-orang Tionghoa melakukan pelayaran menyeberangi samudera. Mereka antaranya adalah Acek Botak, tokoh sentral novel ini, beserta keluarganya, yang mendarat di Sumatera Utara.

Melalui upaya keras, keluarga ini kemudian memperoleh kehidupan yang lebih baik di Tanah Deli. Mereka membaur dengan masyarakat setempat yang terdiri dari banyak etnis: Melayu, Jawa, Batak, bahkan Arab. Meski beraneka etnis dan budaya, mereka mampu membangun tata kehidupan yang harmonis. Perpecahan timbul manakala penjajah yang berasal dari Eropa datang mengkotak-kotakkan mereka dalam kelas-kelas.

Perjuangan Acek Botak membangun harmoni di tengah masyarakat lokal yang plural, inilah kiranya yang menjadi ide dasar novel berketebalan 350 halaman ini. Dengan plot yang lurus, bahasa nan lugas, dan penuturan bergaya reportase, Idris memaparkan betapa sesungguhnya pluralitas telah demikian akrab dengan masyarakat kita. Jika kemudian terjadi saling curiga, ketegangan, pergesekan, sampai pada pertikaian yang saling memusnahkan, tak lain datang dari luar.

Idris seakan hendak mengingatkan, sejak dahulu kala masyarakat tradisional kita tidak punya masalah dengan berbagai kepercayaan, aneka etnis dan budaya. Kita adalah masyarakat terbuka, yang selalu siap menerima perbedaan. Kepentingan politik—dalam konteks novel ini—kolonialislah yang mencabik-cabik kesadaran pluralisme mereka.

Secara bersemangat Idris mengetengahkan ide pluralisme ini dengan bumbu kisah percintaan antar etnis, perjuangan membela negara, dan persoalan kemanusiaan lainnya. Berseting di Sumatera Utara masa-masa Indonesia merebut kemerdekaannya, novel ini mengajak kita menelusuri sejarah negeri ini. Hanya, terlalu bersemangatnya novel ini menjejalkan pesan pluralisme dan antidikriminasi, menjadikannya mirip khotbah yang terkesan menyederhanakan persoalan. Tak pelak ini merupakan imbas dari terlalu tegasnya sikap pengarang terhadap pergolakan yang melingkupi tokoh-tokohnya.

Kamis, 18 Maret 2010

Paradoks Kebahagiaan


(Versi lengkap resensi yang dimuat Koran Jakarta, Rabu 17 Maret 2010)

Apakah sebenar kebahagiaan? Sungguhkah ia merupakan cerminan dari terpenuhinya setiap kebutuhan. Bukankah setiap manusia memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain? Ini yang memicu perbedaan konsep mengenai kebahagiaan antar satu individu dengan individu lain. Namun, secara umum Abraham Maslow, pelopor aliran psikologi humanistik, memetakan kebutuhan dalam tingkatan kebutuhan (Hierarchy of Needs) yang harus dipenuhi guna mencapai kebahagiaan. Ia membagi kebutuhan dalam lima tingkatan, yakni dari tingkat paling rendah yang bersifat dasar/fisiologis, sampai yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

Di antara yang dua ini adalah kebutuhan akan rasa aman (tenteram), dicintai (kasih-sayang), dan dihargai. Manusia termotivasi untuk terus memenuhi tingkatan kebutuhan tersebut untuk mencapai kebahagiaan paling tinggi. Jika seseorang telah memperoleh kasih sayang dan penghargaan, maka ia akan berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya ke tengah masyarakat untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi. Lantas apa yang terjadi jika seluruh tingkat kebutuhan telah namun tetap tidak bahagia?

Inilah kiranya persoalan penting yang terdedahkan dalam novel Kazak dan Penyerbuan (terjemahan dari The Cossack and The Raids) karya pengarang terbesar Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910). Kemewahan nyatanya tidak serta merta melimpahkan kepuasan pada dahaga kebahagiaan. Olenin, seorang bangsawan Rusia yang kehilangan obsesi dan merasa tidak bahagia lantaran hidupnya dibuai kemewahan. Hidup dalam limpahan harta benda yang mengguyur dirinya dengan segala macam kenikmatan ternyata menyebabkan nilai-nilai hakiki kemanusiannya terpelanting. Dia gelisah. Untuk menggapai kembali eksistensial dirinya Olenin meninggalkan gelar kebangsawanan, lantas bergabung menjadi serdadu di daerah operasi militer di Kaukasus.

Pilihan yang ditempuh Olenin mendapat tentangan bahkan ledekan dari kerabat dan sejumlah teman dekatnya. Bagi mereka tak sepatutnya Olenin bergaul dengan para Kazak yang kurang beradab. Tapi Olenin tak goyah, suatu pagi bersama Vanyusha, orang kepercayaannya, ia berangkat menggunakan kereta meninggalkan kenyamanan hotel di pusat Kota Moskow menuju wilayah operasi militer di Kaukasus.

Keberangkatan Olenin ke medan pertemuan di wilayah perbatasan bukan sekadar upaya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri guna mencapai kebahagiaan tertinggi sebagaimana syaratkan Maslow. Melainkan kebutuhan menaklukan tantangan, petualangan. Dalam derajat tertentu kepergian Olenin meninggalkan kehidupan mewah seorang bangsawan kiranya memiliki spirit serupa dengan langkah yang ditempuh Siddhartha Gautama menjadi pertapa guna merah nirwana. Bagi Olenin ada yang lebih tinggi dari sekadar kebutuhan aktualisasi diri. Dia mencapai kebahagiaan dalam petualangan dengan resiko kehilangan nyawa. Dia menemukan kebahagiaan justru saat berada dalam situasi dan perasaan tidak aman, berbagi dengan sesama.

Olenin berbaur dengan orang-orang Kazak (paramiliter) yang keras, bengis, dan hanya mengandalkan otot. Di tengah-tengah mereka dia menemukan kembali gairah hidup. Dia bersahabat dengan Eroshka, mantan tentara perbatasan yang di hari tuanya masih memiliki semangat hidup menyala. Olenin memberi kuda mahal pada Lukasha, lelaki Kazak, penjaga perbatasan yang bersetia pada Rusia. Di sana pula Olenin bertemu dengan Maryanka, gadis Kazak, pekerja keras yang pantang menyerah dan menyalakan api cinta di dada Olenin.

Namun menaklukan Maryanka ternyata tidak segampang membalik telapak tangan. Gadis itu justru mencurigai Olenin sebagai penyebab Lukasha tewas di medan pertempuran melawan gerilyawan Chechnya. Untuk pertama kali sepanjang hidupnya Olenin patah hati. Tapi dia tidak kembali ke Moskow menikmati kebangsawanannya yang bisa dengan mudah mendapatkan gadis yang diinginkannya. Olenin memilih menemukan kebahagiaannya dalam pertempuran dan perjuangan mengejar cinta yang tak pernah didapatkannya. Pilihan Olenin memperlihatkan sisi-sisi kebahagiaan yang paradoks.

Melalui seting wilayah perbatasan dengan pergolakan pertempuran, novel sepanjang 373 halaman yang terdiri dari 2 bagian ini, menguak sisi-sisi jiwa manusia dalam merebut eksistensi kemanusiaannya, dengan bumbu persoalan cinta, kesetiaan pada bangsa dan negara, serta pencarian makna kebahagiaan. Novel ini kiranya juga merupakan refleksi dari pengalaman pribadi pengarang. Sebagaimana dicatat sejarah bangsa Rusia, pada 1851, Leo Tolstoy pernah menjadi anggota resimen artileri di wilayah perbatasan Kausasus. Ini barangkali yang membuat deskripsi novel ini tentang situasi di daerah pertempuran sangat detil sehingga lebih hidup. Dengan kerja penyuntingan dan penerjemahan yang rapi, pembaca secara mudah menangkap pesan-pesan penting di balik tuturan bahasa dan plot cerita yang datar.

DATA BUKU
Judul : Kazak dan Penyerbuan
Penulis : Leo Tolstoy
Penerjemah : Wawan E Yulianto
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari Oktober 2010
Tebal : 373 halaman