Sabtu, 20 Maret 2010

Khotbah tentang Pluralisme



Apakah yang ingin dicapai novelis ketika merekam sejarah bangsa ini ke dalam sebuah novel? Menguatkan semangat patriotisme, melakukan koreksi ataukah sekadar beromantisme belaka? Acek Botak (Kakilangit, 2009), novel pertama Idris Pasaribu, agaknya merangkum ketiga asumsi di atas.

Bercerita tentang perjuangan keluarga Tionghoa meraih masa depannya di Tanah Harapan: Sumatera Utara. Pergolakan yang terjadi di negeri leluhur yang mengancam keselamatan masa depan mendorong orang-orang Tionghoa melakukan pelayaran menyeberangi samudera. Mereka antaranya adalah Acek Botak, tokoh sentral novel ini, beserta keluarganya, yang mendarat di Sumatera Utara.

Melalui upaya keras, keluarga ini kemudian memperoleh kehidupan yang lebih baik di Tanah Deli. Mereka membaur dengan masyarakat setempat yang terdiri dari banyak etnis: Melayu, Jawa, Batak, bahkan Arab. Meski beraneka etnis dan budaya, mereka mampu membangun tata kehidupan yang harmonis. Perpecahan timbul manakala penjajah yang berasal dari Eropa datang mengkotak-kotakkan mereka dalam kelas-kelas.

Perjuangan Acek Botak membangun harmoni di tengah masyarakat lokal yang plural, inilah kiranya yang menjadi ide dasar novel berketebalan 350 halaman ini. Dengan plot yang lurus, bahasa nan lugas, dan penuturan bergaya reportase, Idris memaparkan betapa sesungguhnya pluralitas telah demikian akrab dengan masyarakat kita. Jika kemudian terjadi saling curiga, ketegangan, pergesekan, sampai pada pertikaian yang saling memusnahkan, tak lain datang dari luar.

Idris seakan hendak mengingatkan, sejak dahulu kala masyarakat tradisional kita tidak punya masalah dengan berbagai kepercayaan, aneka etnis dan budaya. Kita adalah masyarakat terbuka, yang selalu siap menerima perbedaan. Kepentingan politik—dalam konteks novel ini—kolonialislah yang mencabik-cabik kesadaran pluralisme mereka.

Secara bersemangat Idris mengetengahkan ide pluralisme ini dengan bumbu kisah percintaan antar etnis, perjuangan membela negara, dan persoalan kemanusiaan lainnya. Berseting di Sumatera Utara masa-masa Indonesia merebut kemerdekaannya, novel ini mengajak kita menelusuri sejarah negeri ini. Hanya, terlalu bersemangatnya novel ini menjejalkan pesan pluralisme dan antidikriminasi, menjadikannya mirip khotbah yang terkesan menyederhanakan persoalan. Tak pelak ini merupakan imbas dari terlalu tegasnya sikap pengarang terhadap pergolakan yang melingkupi tokoh-tokohnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar