Kamis, 18 Maret 2010

Paradoks Kebahagiaan


(Versi lengkap resensi yang dimuat Koran Jakarta, Rabu 17 Maret 2010)

Apakah sebenar kebahagiaan? Sungguhkah ia merupakan cerminan dari terpenuhinya setiap kebutuhan. Bukankah setiap manusia memiliki kebutuhan yang berbeda satu sama lain? Ini yang memicu perbedaan konsep mengenai kebahagiaan antar satu individu dengan individu lain. Namun, secara umum Abraham Maslow, pelopor aliran psikologi humanistik, memetakan kebutuhan dalam tingkatan kebutuhan (Hierarchy of Needs) yang harus dipenuhi guna mencapai kebahagiaan. Ia membagi kebutuhan dalam lima tingkatan, yakni dari tingkat paling rendah yang bersifat dasar/fisiologis, sampai yang paling tinggi yaitu kebutuhan aktualisasi diri.

Di antara yang dua ini adalah kebutuhan akan rasa aman (tenteram), dicintai (kasih-sayang), dan dihargai. Manusia termotivasi untuk terus memenuhi tingkatan kebutuhan tersebut untuk mencapai kebahagiaan paling tinggi. Jika seseorang telah memperoleh kasih sayang dan penghargaan, maka ia akan berusaha untuk mengaktualisasikan dirinya ke tengah masyarakat untuk mencapai kebahagiaan yang lebih tinggi. Lantas apa yang terjadi jika seluruh tingkat kebutuhan telah namun tetap tidak bahagia?

Inilah kiranya persoalan penting yang terdedahkan dalam novel Kazak dan Penyerbuan (terjemahan dari The Cossack and The Raids) karya pengarang terbesar Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910). Kemewahan nyatanya tidak serta merta melimpahkan kepuasan pada dahaga kebahagiaan. Olenin, seorang bangsawan Rusia yang kehilangan obsesi dan merasa tidak bahagia lantaran hidupnya dibuai kemewahan. Hidup dalam limpahan harta benda yang mengguyur dirinya dengan segala macam kenikmatan ternyata menyebabkan nilai-nilai hakiki kemanusiannya terpelanting. Dia gelisah. Untuk menggapai kembali eksistensial dirinya Olenin meninggalkan gelar kebangsawanan, lantas bergabung menjadi serdadu di daerah operasi militer di Kaukasus.

Pilihan yang ditempuh Olenin mendapat tentangan bahkan ledekan dari kerabat dan sejumlah teman dekatnya. Bagi mereka tak sepatutnya Olenin bergaul dengan para Kazak yang kurang beradab. Tapi Olenin tak goyah, suatu pagi bersama Vanyusha, orang kepercayaannya, ia berangkat menggunakan kereta meninggalkan kenyamanan hotel di pusat Kota Moskow menuju wilayah operasi militer di Kaukasus.

Keberangkatan Olenin ke medan pertemuan di wilayah perbatasan bukan sekadar upaya untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri guna mencapai kebahagiaan tertinggi sebagaimana syaratkan Maslow. Melainkan kebutuhan menaklukan tantangan, petualangan. Dalam derajat tertentu kepergian Olenin meninggalkan kehidupan mewah seorang bangsawan kiranya memiliki spirit serupa dengan langkah yang ditempuh Siddhartha Gautama menjadi pertapa guna merah nirwana. Bagi Olenin ada yang lebih tinggi dari sekadar kebutuhan aktualisasi diri. Dia mencapai kebahagiaan dalam petualangan dengan resiko kehilangan nyawa. Dia menemukan kebahagiaan justru saat berada dalam situasi dan perasaan tidak aman, berbagi dengan sesama.

Olenin berbaur dengan orang-orang Kazak (paramiliter) yang keras, bengis, dan hanya mengandalkan otot. Di tengah-tengah mereka dia menemukan kembali gairah hidup. Dia bersahabat dengan Eroshka, mantan tentara perbatasan yang di hari tuanya masih memiliki semangat hidup menyala. Olenin memberi kuda mahal pada Lukasha, lelaki Kazak, penjaga perbatasan yang bersetia pada Rusia. Di sana pula Olenin bertemu dengan Maryanka, gadis Kazak, pekerja keras yang pantang menyerah dan menyalakan api cinta di dada Olenin.

Namun menaklukan Maryanka ternyata tidak segampang membalik telapak tangan. Gadis itu justru mencurigai Olenin sebagai penyebab Lukasha tewas di medan pertempuran melawan gerilyawan Chechnya. Untuk pertama kali sepanjang hidupnya Olenin patah hati. Tapi dia tidak kembali ke Moskow menikmati kebangsawanannya yang bisa dengan mudah mendapatkan gadis yang diinginkannya. Olenin memilih menemukan kebahagiaannya dalam pertempuran dan perjuangan mengejar cinta yang tak pernah didapatkannya. Pilihan Olenin memperlihatkan sisi-sisi kebahagiaan yang paradoks.

Melalui seting wilayah perbatasan dengan pergolakan pertempuran, novel sepanjang 373 halaman yang terdiri dari 2 bagian ini, menguak sisi-sisi jiwa manusia dalam merebut eksistensi kemanusiaannya, dengan bumbu persoalan cinta, kesetiaan pada bangsa dan negara, serta pencarian makna kebahagiaan. Novel ini kiranya juga merupakan refleksi dari pengalaman pribadi pengarang. Sebagaimana dicatat sejarah bangsa Rusia, pada 1851, Leo Tolstoy pernah menjadi anggota resimen artileri di wilayah perbatasan Kausasus. Ini barangkali yang membuat deskripsi novel ini tentang situasi di daerah pertempuran sangat detil sehingga lebih hidup. Dengan kerja penyuntingan dan penerjemahan yang rapi, pembaca secara mudah menangkap pesan-pesan penting di balik tuturan bahasa dan plot cerita yang datar.

DATA BUKU
Judul : Kazak dan Penyerbuan
Penulis : Leo Tolstoy
Penerjemah : Wawan E Yulianto
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari Oktober 2010
Tebal : 373 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar