Kamis, 30 April 2009

Makkunrai: Menyedot tanpa Desahan

Memang tidak salah jika penulis buku ini, Lily Yulianti Farid, mengklaim bahwa Makkunrai sebagai kumpulan cerpen yang mengetengahkan kisah perempuan. Bukan hanya karena penutur dan tokoh-tokohnya perempuan. Melainkan Lily memang mengangkat persoalan yang dihadapi perempuan. Ketertindasan, ketidakadilan, yang dialami perempuan yang berhulu dari system budaya patriarki yang kemudian merembes pada aturan-aturan, cara pandang masyarakat yang kemudian melembaga dalam institusi-institusi negara.

Lily melakukan pemberontakan melalui tokoh-tokohnya yang berasal dari beragam lingkungan sosial. Umumnya gadis Bugis, barangkali ini representasi penulisnya, yang melakukan perlawanan baik terhadap tradisi keluarga, masyarakat sampai institusi bernama negara. Hampir semua tokoh-tokohnya merupakan perempuan yang menolak secara keras dari kungkungan tradisi tidak hanya secara batin tetapi juga fisik. Aku pada cerpen Makkunrai, dan Api dan Cahaya dan Suara, atau Dahlia pada cerpen Dahlia di Rumah Dahlia adalah perempuan-perempuan yang karena upaya dan kecerdasannya, menjadi manusia cosmopolitan dengan lingkungan pergaulan yang sangat luas melintasi antar benua. Mereka dengan gagah berani keluar dari tradisi patriarkar yang menindasnya.

Tetapi, sekalipun tokoh-tokohnya melakukan perlawanan sangat keras Lily tidak menampilkan sebuah cerita yang kaku dan penuh hujatan. Ini lantaran Lily berhasil mengangkat persoalan yang dihadapi perempauan secara essensial. Lily tampaknya menghindari perlawanan dengan cara menunggang isu seksual seperti yang beberapa waktu lalu banyak ditempuh penulis perempuan lainya.

Maka pembaca tidak akan disuguhi narasi-narasi penuh desahan kata-kata erotik yang memancing imajinasi birahi. Melainkan lantunan kalimat-kalimat bernas yang merangkai cerita secara lihai. Gaya penuturan Lily terasa segar, lincah, dan unik. Narator cerpen-cerpen Lily sangat bervariasi. Dari orang pertama, kedua, orang ketiga. Kadang narator yang berbeda ini muncul di satu cerpen secara apik.

Cara bertutur yang demikian menyuguhkan warna yang menarik dan mampu menyedot perhatian pembaca tetap fokus pada jalinan peristiwa. Inilah dua keunggulan cerpen-cerpen dalam Makkunrai. Informasi mengenai peristiwa dan persoalan yang dibuka demi sedikit, untuk kemudian memberi sentakan lembut yang membuat kita geleng kepala.

Saya banyak mendapat cakrawala baru mengenai sisik melik dunia perempuan melalui buku ini, di samping informasi yang berkenaan dengan tradisi leluhur dan pergaulan cosmopolit yang berbaur saling mengikat. Saya rasa cerita-cerita Lily lebih mencerdaskan dan oleh karenanya dibutuhkan publik sastra Indonesia generasi manapun!

Selasa, 21 April 2009

Salah Sambung

Dua malam ini aku menerima telepon salah sambung dari dua orang berbeda. Dua-duanya laki-laki. Yang pertama, dari suaranya, ia anak baru gede dengan logat Betawi sangat kentara. Lainnya kurasa seseorang berusia dewasa dengan cengkok terdengar sangat Jawa .

Menerima telepon salah sambung, kau tahu, bukan kejadian yang menyenangkan. Waktu paling pribadimu seakan terenggut paksa. Apalagi panggilan telepon datang saat kau tengah sibuk mengerjakan sesuatu. Tapi bisa juga tidak bagi orang yang menganggap mendapat telepon sebagai sesuatu yang menyenangkan karena orang akan melihat dia sibuk. Orang sibuk adalah orang yang penting karena itu banyak orang menghubungi dia. Bukankah dianggap sebagai orang penting itu sangat membanggakan? Tak peduli bahwa orang yang menghubungi adalah bos yang memaki-maki, si penagih utang yang terus mengejar-ngejar, atau klien yang tak puas dengan pekerjaanmu.

Dulu sewaktu baru memiliki ponsel, ketika ponsel berdering saat aku berada di antara kawan-kawan yang belum memiliki ponsel, betapa senang rasanya. Kawan-kawan melihat aku dengan tatapan kagum. Dan jujur kuakui dengan perasaan sangat malu bahwa ternyata perasaan seperti itu kadang masih muncul juga. Kala sedang sendiri dan merasa sepi, tidak dipedulikan dunia, aku kadang merindukan ponselku berdering. Terserah siapa pun yang menelponku pasti aku mengangkatnya dengan gembira. Sayangnya ini hampir tidak pernah terjadi. Telepon salah sambung atau pun benar sambung justru sering datang manakala aku tidak ingin menerima panggilan dari siapa pun. Baik manakala aku tengah sibuk diburu pekerjaan, sedang wawancara dengan narasumber, misalnya. Atau ketika aku benar-benar tengah ingin menikmati keheningan, saat-saat tidak dipedulikan dunia. Jika ini yang terjadi aku merasa dunia sedang bersekongkol menggangguku; memiliki ponsel menjadi serupa ancaman. Setiap saat dan di mana pun, setiap orang dapat merusak keheningan yang tengah kunikmati.

Tapi kadang aku tergelitik oleh pertanyaan, kenapa harus ada salah sambung? Tentu ini karena kecerobohan, atau ketidak telitian saat mencatat atau memijit nomor telepon. Mungkin salah sambung juga perlu terjadi di dunia ini. Bahkan kurasa tanpa salah sambung dunia akan baik-baik saja, datar, tidak ada kejutan. Sesuatu yang datar, tanpa riak gelombang bukanlah sesuatu yang menyenangkan karena kondisi seperti itu tidak menyiratkan kehidupan yang dinamis.

Salah sambung selain menimbulkan kejengkelan, kadang menciptakan situasi yang memancing tawa. Bayangkan jika tiba-tiba suara di seberang langsung nerocos meluncurkan kalimat-kalimat erotik, atau apalah yang aneh, seperti datang dari planet lain yang membuat kau terpingkal. Inilah kurasa yang melatari tim kreatif sebuah radio ternama di Jakarta bernama Gen FM membuat mata acara bertajuk ‘Salah Sambung’. Saat menjadi wartawan tabloid hiburan aku sering mengikuti acara ini di perjalanan memburu narasumber. Lumayan menggelitik, sedikitnya mengurangi bĂȘte dihajar kemacetan. Aku tidak tahu acara ini masih disiarkan atau tidak.

Senin, 13 April 2009

Jebakan Suatu Petang

Di atas panggung rendah, di hadapan ratusan peserta seminar, pria yang diperkenalkan pembawa acara sebagai mantan direktur BUMN itu, menyampaikan presentasinya dengan cukup baik. Tampaknya sudah demikian terlatih. Bahasa dan kalimat yang dia gunakan disampaikan dengan artikulasi dan intonasi yang tepat. Joke joke segar yang bertaburan di sana sini pun sampai tanpa salah alamat . Jauh dari kesan berlebihan dan memaksakan diri. Renyah dan sama sekali tidak garing. Peserta seminar yang berlangsung lepas petang di lantai satu gedung Indocement, Jalan Sudirman, Jakarta, itu tampak puas dan tulus tatkala mereka tertawa merespons joke-jokenya. Mengenakan stelan jas warna biru dan tatapan mata serta suara penuh optimisme, pria ini berhasil meyakinkan peserta seminar bahwa mereka tidak sedang melakukan hal yang percuma.

Inilah yang sedikit melupakan aku dari perasaan bahwa seorang kawan lama telah menjebakku mengikuti seminar ini. Usai pria itu menyampaikan presentasinya mengenai bisnis multilevel marketing, kawan yang menjebakku itu menghampiriku dan menawarkan tiket untuk mengikuti seminar yang lebih besar. Tentu saja aku menolaknya. Dan bergegas keluar dari sana. Mencari bus, pulang.

Di luar tampaknya hujan besar baru saja lerai. Kulihat trotoar dan badan jalan basah. Sewaktu menjelang petang tadi aku berangkat langit memang pekat sekali. Hanya karena kawan lama itu menjanjikan suatu proyek yang kupikir menarik, aku berangkat. Terus terang, aku memang terlalu ceroboh. Atau jangan-jangan kawanku yang lihai menjebak orang. Kemarin malam dia menelponku. Kawan yang pernah satu kantor saat aku bekerja di tabloid hiburan itu mula-mula menanyakan kegiatanku.

“Ini peluang bagus,” dia bilang. Dalam penjelasaannya yang penuh ‘misteri’ itu aku menangkapnya begini. Dia punya bos yang mau bikin buku. Lantas dia merekomendasikan aku untuk mengerjakannya.

Di dalam bus, seraya menatap jalanan yang mulai lengang, kaca bus yang dilumuri sisa hujan yang membuat pemandangan luar terlihat kabur, terngiang lagi dakwah pria itu. Apa yang Anda rencanakan untuk hidup Anda esok hari? Apakah hanya sekadar mengikuti alur hidup yang begitu-begitu saja? Ah, Bung, dakwahmu yang sok tahu itu tak urung bikin aku resah.

Bus telah sampai mengantarku ke terminal Blok M. Dan aku segera melupakan kekesalanku. Pada kawan lamaku itu aku urung mengirim sms begini: kamu telah membuang-buang waktuku. Aku tak pernah tega menciderai perasaan orang sekalipun dia telah membuatku kesal.

Rabu, 01 April 2009

Azan di Pelataran Mal

Beberapa jam setelah keluar dari perpustakaan Depdiknas di Jalan Jenderal Sudirman, aku tak menyangka aku akan melakukan sebuah pekerjaan yang tak pernah terbayangkan. Pekerjaan biasa saja sesungguhnya. Tapi aku kira pekerjaan ini setidaknya tak akan dilakukan kawan terdekatku. Pekerjaan yang kulakukan dengan begitu gugup, tak percaya diri.
Hari itu sembari menunggu sms dari kawan soal kepastian meeting dengan klien kami di BI (Bank Indonesia) aku menenggelamkan diri di ruang perpustakaan teduh itu. Hampir tiga jam aku di sana, keluar sebentar untuk mengisi perut di sebuah kedai cepat saji mal Ratu Plaza samping kanan Depdiknas. Kabar itu datang seusai menu pesananku tandas kulahap, seakan menunggu aku betul-betul siap.

Bukan kabar kepastian meeting, karena kabar tersebut telah kuperoleh satu jam sebelumnya. Melainkan kabar dari kampung; mula-mula sms yang berbunyi: yah, dede udah lahir yang ditulis anak sulungku. Usai membuka pesan itu aku langsung menelpon. Tapi terdengar nada sibuk. Kucoba lagi, sibuk lagi. Menunggu beberapa menit dengan berdebar-debar, ponselku berdering. Dari istriku. Menegaskan kabar tadi. Aku gembira dan ingin berteriak mengekspresikan kegembiraanku, atau bersujud syukur. Tapi aku tahu aku tidak mungkin melakukannya sekarang di pelataran mal ini. Namun tatkala istriku memintaku mengazani anak kami yang baru lahir itu, aku menepi dan mengumandangkan azan lirih-lirih di ponselku. Aku tahu di pelataran mal ini orang tak akan ada yang peduli dengan apa yang kulakukan. Tapi aku yakin jika mereka melihat wajahku mereka pasti tahu betapa aku tengah dilanda perasaan suka cita.

Siapakah yang sanggup menolak kemurnian? Menolak kesucian? Dunia yang sudah padat, sumpek, dan menjengelkan ini akan selalu menyediakan tempat buat kemurnian, menyisihkan ruang buat kesucian, buat harapan tentang masa depan yang lebih baik. Tunas-tunas muda, tidakkah ia harapan? Dan bukankah orang selalu membutuhkan harapan untuk mempertahankan kehidupan yang apa boleh buat seringkali membosankan ini?