Minggu, 20 Juni 2010

Melacak Jejak Orang Arab di Nusantara



Hubungan Nusantara dengan Bangsa Arab terjalin sejak abad pertengahan melalui hubungan dagang yang cukup erat. Melalui mereka pula Islam diperkenalkan di tanah Nusantara. Sumatera merupakan pulau yang pertama mereka singgahi di Nusantara sebelum kemudian ke Jawa pada abad XVIII.

Bangsa Arab Hadramaut deras mengalir ke pulau-pulau Nusantara sejak tahun 1870, ketika pelayaran dengan kapal uap antara Timur Jauh dan Arab mengalami perkembangan pesat. Tujuan utama mereka pada mulanya adalah menjalin hubungan dagang. Sebagian kecil saja yang datang dengan misi secara khusus memperkenalkan Islam.

Buku hasil penelitian L.W.C. Van den Berg ini memaparkan, di Jawa pendatang-pendatang Arab membentuk koloni-koloni. Enam koloni besar Arab ada di Batavia, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, dan Surabaya. Mereka dengan cepat melakukan asimilasi dengan penduduk lokal. Kehadiran mereka mengkhawatirkan bagi dominasi penjajah Belanda.

Buku yang berjudul asli Le Hadhramout et les Colonies Arabes Dans I’ Archipel Indien, ini tidak hanya memaparkan sejarah kedatangan Orang Arab di Nusantara, tapi juga memetakan geografi Hadramaut, penduduk dan pemerintahan di Hadramaut, kepercayan, sampai kepada perbedaan antara Orang Arab di Nusantara dan Orang Arab di Hadramaut. Serta merinci ciri-ciri koloni-koloni Arab yang ada di Nusantara.

Terbit pertama kali pada 1886, penelitian L.W.C. van den Berg ini memang untuk menjawab keresahan pemerintah kolonial Belanda yang mencurigai kedatangan Orang Arab di Nusantara membawa ancaman besar. Berg mempelajari objek dominasi kolonial, seperti tanah jajahan dan penduduknya, membuat klasifikasi atas objek-objek tersebut. Penelitian ini dijadikan proyek pemerintah Kolonial Belanda guna mempelajari kebiasaan, aktifitas, dan aspirasi politik komunitas Arab di Nusantara. Hasil penelitian Berg kemudian terbukti bahwa kekhawatiran pemerintah kolonial Belanda tentang ancaman Orang Arab atas dominasi mereka di Nusantara hanya ilusi.

Secara rinci studi L.W.C. van den Berg membuktikan bahwa Orang Arab tidak menentang dominasi pemerintahan kolonial Belanda. Berg juga mengungkap kekeliruan anggapan yang menyebutkan bahwa pengaruh Arab terhadap priagung Pribumi di Nusantara adalah berkat atribut budaya mereka yang diikat oleh kesamaan agama. Karena, jika ini benar, Berg mempertanyakan bagaimana menjelaskan sejarah Jawa yang menyebutkan bahwa pada abad XV bangsa Arab mendirikan sejumlah kerajaan kecil di sepanjang pantai utara pulau tersebut dan akhirnya berhasil meruntuhkan kekuasaan Hindu Majapahit?

Pemerintan kolonial Belanda justru memperoleh keuntungan dari pengaruh orang Arab terhadap para priagung Pribumi. Orang Arab sangat loyal kepada pemerintah kolonial Belanda. Dalam setiap pertikaian antara rakyat pribumi dan pemerintah kolonial, Orang Arab hampir selalu membela pemerintah Kolonial Belanda. Loyalitas orang Arab kepada Belanda kemudian dibalas dengan pemberian gelar kebangsawanan tertinggi.

Data Buku
Judul : Orang Arab di Nusantara
Penulis : L.W.C. Van den Berg
Cetakan : I, April 2010
Penerbit : Komunitas Bambu
Tebal : liii + 214 halaman
ISBN : 979-371-79-6
Harga : Rp60.000

Senin, 07 Juni 2010

Pengembaraan Sebelum Menikah



Dorongan pertama untuk membaca buku “Sastra Pranikah’ ini adalah penulisnya pernah tinggal di satu kecamatan yang sama dengan saya. Ditambah ilustrasi cover-nya yang sangat akrab dengan masa kecil saya. Burok dan cerobong pabrik gula. Saya makin bergairah manakala ada penjelasan bahwa ini merupakan buku autobiografi. Saya segera menyusuri ingatan masa kecil saya, dan mulai berharap-harap ada persinggungan dengan kehidupan masa kanak saya yang berkaitan dengan pabrik gula dan burok.

Ketika membaca halaman pertama, saya segera tahu betapa dorongan-dorongan di atas tidak saya perlukan lagi. Cara bertutur dan logika bahasanya langsung membetot dan menghanyutkan saya pada halaman-halaman berikutnya sampai tahu-tahu mentok di halaman 200. Saya kemudian mengira-ngira apa rupanya yang membuat saya demikian menikmati tulisan Nyi Vinon di luar perkara cara dan kelancaran bertutur serta logika bahasa. Ternyata jelas bukan semata kisah perjalanan hidup Nyi Vinon, termasuk setting beberapa peristiwa yang ditulisanya.

Sebab, terus terang saja tak ada yang istimewa dengan perjalanan hidup Nyi Vinon. Bukan lantaran rentang waktunya yang pendek—usia Ny Vinon belum lagi setengah abad. Ia ‘hanya’ anak seorang pegawai pabrik gula keturunan bangsawan yang kerap berpindah pindah tugas, pernah mengikuti program pertukaran pelajar ke Austarlia, kuliah di Bandung, menjadi arsitek, bekerja di LSM, melakukan riset di Bali. Yang menjadi daya pikat bagi saya adalah penyajian, cara pandang, dan pikiran-pikiran Vinon, baik pada dunia di luar maupun dalam dirinya. Serta pengetahuan sejarah yang dimilikinya. Acap Vinon melihat suatu obyek dengan menggali dan mengaitkanya pada sejarah yang tampaknya cukup dikuasainya. Termasuk sejarah geografi dan sosiologi, membuat tulisannya begitu basah dan kaya.

Vinon menuturkan kisah perjalanan hidupnya tidak secara runut dan subtil, melainkan melompat-lompat dari satu peristiwa ke peristiwa yang dianggap paling menarik. Dan saya kira dia berhasil melakukannya. Strategi ini menghindarkannya dari kesan membosankan. Peristiwa-peristiwa yang biasa saja, persoalan-persoalan yang wajar dan remeh menjadi punya makna baru lantaran cara pandang dan penyikapan Vinon terhadap persoalan tersebut. Sering Vinon memaparkan pikirannya semata, lantas mencomot beberapa kisah perjalanan hidupnya baik waktu SD, SMA, semasa mahasiswa, dan masa kini, untuk diperiksa dan diberi pemaknaan baru. Dan yang paling penting semua diuturkan Vinon secara jujur, santai namun mendalam dan, lagi-lagi, penuh permainan logika bahasa.

Pada usia empat tahun ibunya mengira Nyi Vinon berbakat jadi teroris, padahal ia menyimpan cita-cita jadi peragawati. Cita-cita ini sempat kesampaian secara kebetulan saat berada di Australia—tidak ada keterangan tahun kejadiannya (saya menduga saat pertukaran pelajar). Nyi Vinon tidak perlu menanggalkan pakaian dalam demi kerapihan pakaian yang diperagakan seperti umumnya peragawati profesional. Urusan pakaian dalam ini tidak ada hubungannya dengan idealisme apa pun selain semata pilihan—atau bisa saja kebiasaan.

Pandangan-pandangan Vinon terkait dengan agama pun secara gamblang dapat saya tangkap. Misalnya, bagi Vinon betapa menjadi seorang muslimah yang ‘sesuai’ syariah itu sangat mahal dan merepotkan. Bagi Vinon agama tak lebih sebagai hobi. Dalam konteks sepasang suami istri, hendaknya mereka bisa menghargai hobi masing-masing Tidak perlu saling memaksakan hobi. Saya juga ditunjukkan pada pandangannya tentang feminisme, Tuhan, pluralisme, takdir, surga neraka, jilbab. Surga menurutnya sebuah tempat yang membosankan. Karena manusia yang masuk ke sana akan mengalami melulu kenikmatan. Artinya, neraka pun bukan sesuatu yang mengerikan karena penderitaan yang terus menerus akan melahirkan kekebalan.

Kadang memang saya merasa Vinon seperti sedang berkhotbah ketika memaparkan sikap-sikapnya, terendus nada sok pintar dan menggurui. Tetapi sungguh itu bisa maafkan karena ditopang argumentasi dengan logika yang kuat. Saya membayangkan setelah buku ini Vinon menulis novel.

Upaya Membuat Kritik Sastra


(resensi ini disiarkan di Lampung Post, Minggu 6 Juni 2010)

JIKA kita sepakat bahwa esai, ulasan singkat, resensi buku sastra, yang tumbuh di koran-koran layak disebut sebagai kritik sastra, agaknya keresahan, keluhan, kecemasan sebagian kalangan pengamat dan praktisi sastra akan kelangkaan kritik sastra, menjadi tidak beralasan.

Hampir setiap minggu sejumlah koran dan majalah menyediakan ruang untuk esai, ulasan, resensi buku sastra, wawancara, serta reportase perihal kegiatan diskusi sastra. Dari tulisan-tulisan pendek tersebut kadang pula tersulut polemik yang saling bersahut-sahutan. Kadang sahut-sahutan yang terjadi tidak hanya muncul dari koran yang memuat tulisan yang memicu polemik, tapi juga dari koran-koran lain. Polemik yang terjadi dan tersebar luaskan oleh media itu meski acap tidak bersandar pada penelitian mendalam terhadap tema atau gagasan yang diperdebatkan, tapi pelak merangsang dinamika pemikiran sastra.

Model kritik sastra semacam itulah kiranya yang disodorkan buku Darah Daging Sastra Indonesia karya Damhuri Muhmmad. Buku ini tak lain memang kumpulan tulisan berupa esai, ulasan, resensi buku sastra yang sebelumnya terserak di sejumlah koran dan majalah. Tidak salah jika menyebut buku ini serupa kliping. Pula, sejak awal tulisan ini diniatkan untuk media koran dan majalah umum yang tidak menyediakan ruang yang cukup leluasa untuk menggelar kritik sastra. Sehingga membaca buku ini tidak harus secara runut dari halaman pertama sampai halaman akhir. Tapi bisa memilih dari halaman mana pun yang dianggap paling menarik. Panjang setiap tulisan pun tidak lebih dari dua sampai tiga halaman.

Melalui buku ini Damhuri seakan hendak memaklumatkan bahwa tindakan kritik sastra tidak selalu harus berupa tulisan-tulisan panjang berlumur teori-teori sastra mentereng yang dalam banyak kasus justru merumitkan pemahaman terhadap karya—yang bagi orang kebanyakan sudah rumit--yang diulas, sehingga makin menjauhkan sastra dari masyarakat luas. Kritik sastra model resensi buku dan ulasan ringkas pun sanggup menjadi kritik yang bermanfaat jika ditulis dengan perangkat yang memadai serta kesungguhan menyelam ke dalam teks secara intens dan integral. Yakni kritik sastra yang, sebagaimana diungkap Suminto A. Sayuti (2005), disiapkan dalam kerangka instrumental, regulatif, interaktif, dan respresentatif.

Terbukti, meski model kritik yang diamalkan Damhuri sangat ringkas, hanya butuh waktu 10--15 menit membacanya, tidak lantas batal menjadi sebuah kritik sastra yang tajam dan inspiratif. Bahkan, justru karena keringkasannya ulasan jadi lebih fokus, langsung menukik, sehingga dengan segera dapat menunjukkan kekuatan dan kelemahan teks sastra yang diulasnya. Ini tentu didukung ketekunan Damhuri dalam menyelam ke dalam darah daging teks, membedahnya dengan perangkat yang memadai.

Penguasaan Damhuri atas perangkat yang dipergunakannya, ditambah ilmu filsafat yang digelutinya, setiap ulasan yang ditulisnya hadir dengan pola penuturan dan bahasa yang jernih sehingga mudah dipahami. Misalkan pada tulisan Sastra (A) Moral? (hlm. 11). Esai yang merupakan respons atas esai Richard Oh, dengan gemilang menelanjangi kekeliruan lontaran pemikiran Richard Oh perkara moral dalam sastra. Demikian pula tulisan yang mengulas Glonggong, novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta (2006) karya Junaedi Setiyono. Secara cerdas dan telak Damhuri mementahkan pelabelan novel sejarah yang diberikan para juri terhadap novel tersebut. Hanya, pada tulisan Ikhtiar Menyelamat Puisi, Damhuri tampak kurang mampu menyembunyikan nada emosionalnya. Juga frase "penyair muda" pada tulisan yang mengulas kumpulan puisi Esha Tegar Putra (hal.158). Frase ini mungkin maksudnya dialamatkan pada hitungan usia si penyair, bukan hitungan mutu kepenyairan si penyair.

Secara umum kritik-kritik Damhuri terbebas dari semangat memaki setengah mati di satu sisi dan memuji setinggi langit di sisi lain. Ulasan-ulasan Damhuri tampil dengan imbang. Berlawanan dengan sebagaimana yang dilakukan kritikus-kritikus sastra yang menurutnya lebih pantas disebut tikus-tikus sastra yang perlu dibasmi?

Akhirnya, kehadiran buku ini selain bisa digunakan sebagai bahan belajar menulis karya sastra sekaligus menulis kritik sastra, akan menambah historiograpi sastra Indonesia.

Sabtu, 05 Juni 2010

Kisah Sehari-hari dari Dua Perempuan Pengarang



“Cinta dalam Belanga” ini kumpulan cerpen Ambhita Dhyaningrum; aku memperolehnya pada acara bookfair di Gelora Bung Karno, Jakarta, Maret 2010 silam. Tampilan cover buku terbitan Kakilangit Kencana ini terlihat kurang mengundang orang buat meraih dan membukanya di antara tumpukan buku lainnya. Hitam putih, dan warna merah mengkilap pada judul yang tercetak dengan huruf besar semua. Aku memperolehnya bersama beberapa buku fiksi lain.

Mungkin lantaran tampilan yang kurang mengundang tersebut aku tidak segera membacanya. Membiarkannya mengonggok di kamar berminggu-minggu. Yanusa Nugroho yang memberi endorsmen di sampul belakang buku ini tak juga kuasa membetot minatku. Setelah kehabisan buku untuk kubaca, barulah aku menyentuhnya. “Tak mudah menuliskan cerita yang sehari-hari” demikian kira-kira bunyi endorsmen Yanusa. Rupanya aku tak sepenuhnya sepakat dengan Yanusa. Karena ternyata cerita-cerita yang ditulis Ambhita tidak sepenuhnya kisah yang menyehari-hari juga. Ada segugus kisah cinta yang rumit antara sepasang gay. Kisah cinta tak sampai yang sungguh tidak sederhana. Namun semua memang ditulis dengan cara yang lugu dan tak berkehendak bergenit-genit ria dengan bentuk. Hampir semua seputar persoalan cinta. Tentu bukan hanya cinta lelaki kepada perempuan. Melainkan cinta sejenis, cinta keponakan kepada pamannya yang gendeng, dan seterusnya. Tokoh-tokohnya datang dari beragam kelas sosial. Disajikan dengan bahasa tutur yang lurus, gamblang, dan hampir tanpa metafora.



Buku lainnya yang kuperoleh sebulan sesudahnya adalah karya perempuan pengarang juga: “Mantra Maira” besutan Sofie Dewayani. Berbeda dengan Ambhita, buku ini terkesan lebih “angker”. Terutama manakala membaca judul pengantar buku ini yang ditulis Faruk HT. Coba dengar “Keluar dari Tulisan: sebuah Ujicoba Sastra Pasca-aksara”.

Menurut Faruk, cerpen-cerpen yang ditulis Sofie adalah sastra yang keluar dari tulisan dalam pemahaman Barat. Faruk mengingatkan, sastra berarti tulisan dan tulisan itu sendiri merupakan representasi bahasa. Tapi tentu saja, lanjut Faruk, tidak semua tulisan adalah sastra.

Dari sana kita kemudian diberi tahu betapa paham mengenai tulisan rupanya tidak tunggal, melainkan beragam. Nah, cerpen-cerpen Sofie ini menurut Faruk keluar dari jenis paham tentang tulisan yang dikembangkan Barat, yakni bahwa tulisan merupakan kekuatan kultural yang mampu membuat penggunanya menjadi individual, melakukan abstraksi, memilah dan menganalisis informasi, memberi daya reflektif dan kritis. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki dan diberikan bahasa lisan yang cenderung komunal. Inikah rupanya yang dimaksud pasca-aksara? Sila Anda menjawab sendiri.

Dalam menuliskan cerpennya Sofie memilih menggunakan kekuatan literer yang lebih padat ketimbang Ambhita. Cara pengisahan yang ditempuh Sofie lebih terasa melakukan upaya keras untuk keluar dari gaya bertutur bahas lisan. Sedangkan kisah-kisah yang dianyamnya tidak jauh berbeda dengan Ambhita. Maksud saya tidak kurang menyehari dari Ambhita. Hanya, Sofie cenderung memilih lebih jeli dan telaten. Lihat saja cerpen “Bangku Belakang”, kisah yang mengangkat tentang masyarakat yang hidup dalam jerat situs jejaring sosial dunia maya yang menumbuhkan naluri narsistik penuh citra. Bukankah tema ini sangat menyehari?

Aku membaca dua buku karya dua perempuan pengarang ini secara selang seling saban menjelang tidur, seraya menanti datangnya kiriman buku baru. Hmm…