Sabtu, 05 Juni 2010

Kisah Sehari-hari dari Dua Perempuan Pengarang



“Cinta dalam Belanga” ini kumpulan cerpen Ambhita Dhyaningrum; aku memperolehnya pada acara bookfair di Gelora Bung Karno, Jakarta, Maret 2010 silam. Tampilan cover buku terbitan Kakilangit Kencana ini terlihat kurang mengundang orang buat meraih dan membukanya di antara tumpukan buku lainnya. Hitam putih, dan warna merah mengkilap pada judul yang tercetak dengan huruf besar semua. Aku memperolehnya bersama beberapa buku fiksi lain.

Mungkin lantaran tampilan yang kurang mengundang tersebut aku tidak segera membacanya. Membiarkannya mengonggok di kamar berminggu-minggu. Yanusa Nugroho yang memberi endorsmen di sampul belakang buku ini tak juga kuasa membetot minatku. Setelah kehabisan buku untuk kubaca, barulah aku menyentuhnya. “Tak mudah menuliskan cerita yang sehari-hari” demikian kira-kira bunyi endorsmen Yanusa. Rupanya aku tak sepenuhnya sepakat dengan Yanusa. Karena ternyata cerita-cerita yang ditulis Ambhita tidak sepenuhnya kisah yang menyehari-hari juga. Ada segugus kisah cinta yang rumit antara sepasang gay. Kisah cinta tak sampai yang sungguh tidak sederhana. Namun semua memang ditulis dengan cara yang lugu dan tak berkehendak bergenit-genit ria dengan bentuk. Hampir semua seputar persoalan cinta. Tentu bukan hanya cinta lelaki kepada perempuan. Melainkan cinta sejenis, cinta keponakan kepada pamannya yang gendeng, dan seterusnya. Tokoh-tokohnya datang dari beragam kelas sosial. Disajikan dengan bahasa tutur yang lurus, gamblang, dan hampir tanpa metafora.



Buku lainnya yang kuperoleh sebulan sesudahnya adalah karya perempuan pengarang juga: “Mantra Maira” besutan Sofie Dewayani. Berbeda dengan Ambhita, buku ini terkesan lebih “angker”. Terutama manakala membaca judul pengantar buku ini yang ditulis Faruk HT. Coba dengar “Keluar dari Tulisan: sebuah Ujicoba Sastra Pasca-aksara”.

Menurut Faruk, cerpen-cerpen yang ditulis Sofie adalah sastra yang keluar dari tulisan dalam pemahaman Barat. Faruk mengingatkan, sastra berarti tulisan dan tulisan itu sendiri merupakan representasi bahasa. Tapi tentu saja, lanjut Faruk, tidak semua tulisan adalah sastra.

Dari sana kita kemudian diberi tahu betapa paham mengenai tulisan rupanya tidak tunggal, melainkan beragam. Nah, cerpen-cerpen Sofie ini menurut Faruk keluar dari jenis paham tentang tulisan yang dikembangkan Barat, yakni bahwa tulisan merupakan kekuatan kultural yang mampu membuat penggunanya menjadi individual, melakukan abstraksi, memilah dan menganalisis informasi, memberi daya reflektif dan kritis. Suatu kemampuan yang tidak dimiliki dan diberikan bahasa lisan yang cenderung komunal. Inikah rupanya yang dimaksud pasca-aksara? Sila Anda menjawab sendiri.

Dalam menuliskan cerpennya Sofie memilih menggunakan kekuatan literer yang lebih padat ketimbang Ambhita. Cara pengisahan yang ditempuh Sofie lebih terasa melakukan upaya keras untuk keluar dari gaya bertutur bahas lisan. Sedangkan kisah-kisah yang dianyamnya tidak jauh berbeda dengan Ambhita. Maksud saya tidak kurang menyehari dari Ambhita. Hanya, Sofie cenderung memilih lebih jeli dan telaten. Lihat saja cerpen “Bangku Belakang”, kisah yang mengangkat tentang masyarakat yang hidup dalam jerat situs jejaring sosial dunia maya yang menumbuhkan naluri narsistik penuh citra. Bukankah tema ini sangat menyehari?

Aku membaca dua buku karya dua perempuan pengarang ini secara selang seling saban menjelang tidur, seraya menanti datangnya kiriman buku baru. Hmm…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar