Ke mana kamu melewatkan malam tahun baru? Turun ke jalan meniup terompet? Larut dalam kerumunan massa di pub, berjingkrak-jingkrak? Menggumamkan doa di masjid atau gereja? Atau membiarkan diri sendirian di kamar ditemani nyala sebatang lilin? Jika hal terakhir yang kamu lakukan, mungkin kita memiliki kegemaran yang sama pada keheningan, kesenyapan.
Ya, sore di penghujung Desember 2009 aku meninggalkan Jakarta menuju sebuah pelosok desa. Menemui seorang kawan di sana. Tapi aku rasa kedatanganku ke sana bukan dalam rangka untuk merayakan tahun baru. Melainkan sebuah lawatan yang biasa kulakukan saban beberapa bulan sekali. Meski pelosok ini hanya beberapa puluh kilo meter dari Jakarta, tapi ia tak tersentuh kendaraan umum. Jadi begitu bus menurunkan aku di tepi jalan, aku menunggu dia menjemputku menggunakan motor.
Dia telah menyiapkan jagung rebus, singkong rebus, ayam bakar, tomat, jeruk, pir, dan beberapa ekor lele. Kecuali buah pir dan jeruk, semua jenis makanan ini tidak ia beli dari toko, melainkan dari kebun dan kolam di halaman depan dan belakang rumahnya. Begitulah sambil bercengkarama ringan kami melahap makanan yang bebas dari bahan kimia itu di antara kolam dan kebun sayur mungilnya. Dan kurasa kami tidak menyinggung perihal tahun yang berganti dan orang-orang yang merayakannya dengan penuh histeria. Kami tak punya tradisi merayakan malam pergantian tahun. Dan sering merasa heran kenapa orang-orang demikian bersemangat merayakan pergantian tahun. Apakah yang mereka pikirkan tentang tahun baru?
Aku tidak pernah tahu persis. Yang pasti perayaan pergantian tahun baru, dari tahun ke tahun, ternyata tidak memberikan kesadaran pada mereka untuk merawat bumi yang makin renta dna rusak oleh ketidakpedulian mereka. Yang terjadi justru sebaliknya, sampah (puntung rokok, plastik bekas kemasan, botol-botol dan kaleng bekas minuman) berserakan di sepanjang jalan usai malam perayaan pergantian tahun.
Jumat, 01 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar