(Resensi ini dmuat Radar Tasikmalaya, Desember 2009)
Kau adalah penulis. Kau akan merasa bahagia jika tulisanmu dimuat di media. Sekurangnya ada tiga hal yang membuatmu bahagia. Pertama, tulisanmu dibaca orang; kedua eksistensimu sebagai penulis diakui (setidaknya oleh redaktur media yang memuat tulisanmu) dan; ketiga memperoleh honorarium (meski kadang tidak sebanding dengan kerja kerasmu menulis ). Bohong besar jika ada penulis yang mengatakan bahwa dia menulis bukan untuk dibaca orang. Persoalannya menembus media massa (apalagi media besar) bukan perkara mudah, apalagi untuk para pemula.
Awal-awal menulis pada masa SMA dulu, saya punya sejumlah teman yang tulisannya mengalami penolakan terus menerus dari redaktur. Kirim lagi, ditolak lagi. Mereka putus asa, dan dengan kesal bilang sang redaktur tidak fair menilai tulisannya. Lantas mereka menuduh sang redaktur hanya memuat tulisan orang-orang yang berada dalam lingkaran (circle) dia. Mereka tidak percaya lagi dengan media. Bagi mereka dunia penulisan tak ubahnya dunia politik yang penuh intrik.
Ingatan inilah yang menyembul dalam pikiran saya saat membaca “Cinta Empat Bab”-nya Hermawan Aksan. Intrik-intrik dalam dunia penulisan yang dituduhkan kawan-kawan masa remaja saya seakan menemukan pembenarannya. Ita, dengan kekuasannya sebagai redaktur budaya sebuah media massa, seakan bisa mengatur nasib calon penulis. Dia menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dia dalam memuaskan kegemarannya bertualang cinta. Jon dan Yus adalah dua dari sekian banyak korbannya.
Demi tulisannya dimuat Yus rela menjadi selingkuhan Ita setelah perempuan itu merasa tak mungkin melanjutkan hubungan asmaranya dengan Jon. Di pihak lain Jon mengabaikan perhatian Nin, gadis yang memuja tulisan-tulisannya, dan terus mengharapkan Ita. Pada saat yang sama Nin berusaha menjauhi Yus yang diam-diam mendambakan Nin yang ternyata putri sang redaktur: Ita.
Gagasan yang diangkat novel ini sebenarnya cukup menarik dan punya potensi menjadi cerita yang sangat kompleks. Namun, dengan hanya terdiri dari empat bab, yang setiap babnya (rata-rata 30 halaman) dituturkan oleh empat tokoh berbeda, cerita jadi tak bisa bergerak leluasa dan pembaca kehilangan kesempatan melewati jalan-jalan curam penuh kelokan nan menegangkan. Dan lebih banyak menyuguhkan romantisme dunia penulisan yang hari-hari ini mungkin tidak relevan.
Tak banyak novel yang mengangkat seputar sisik melik dan intrik di dunia penulisan di Indonesia. Dengan adegan pembuka yang penuh aroma cerita detektif yang mampu membetot pembaca, semula saya hati saya berdebar-debar dipenuhi harapan novel ini akan mampu menghadirkan sisik melik dan intrik dalam dunia penulisan secara seru dan menarik. Harapan saya hampir saja terbukti seandainya cerita tidak dibelokkan ke persoalan cinta dan perselingkuhan. Saya menduga Hermawan melakukan hal tersebut lantaran persoalan cinta ini sebagai pilihan ia lebih sederhana dan tidak menuntut kerumitan, ketimbang intrik dan politik dunia penulisan. Namun karena menghindari kerumitan itulah cerita kemudian menjadi mudah kehilangan daya kejutnya. Menulis soal intrik politik di dunia penulisan memang memerlukan riset yang sabar dan mendalam. Sayangnya, novel ini tampaknya kurang dalam menggali tema itu kecuali dari pengalaman pribadi dan imajinasi pengarangnya belaka.
Dari sisi editing novel ini tampaknya digarap secara tergesa. Terlihat misalnya pada kalimat gang sempit, berliku-liku, kotor dan bau dan…dengan pemandangan berantakan khas kampung kumuh di tengah kota. Kalimat ini muncul secara berulang pada halaman 49 dan 63. Terdapat pula kalimat yang mendikte misalkan: wajah-wajah mereka memancarkan khas pengangguran. Kalimat ini bagi saya terlalu aus untuk mendeskripsikan kondisi fisik pengangguran yang penuh derita kemiskinan, kekumuhan..
Buku ini selain menampilkan novel pendek tersebut, memuat sejumlah cerpen Hermawan yang ditulis pada periode 1991-2000. Serta sebuah cerpen berlatar pewayangan yang dianggit pada 2007. Cerpen-cerpen Hermawan yang banyak mengangkat setting pedesaan dengan segala problematikanya menyarankan kebersahajaan yang enak dinikmati. Alam dan orang-orang pedesaan tidak selalu lekat dengan ketulusan dan kejujuran. Melainkan juga penuh intrik. Gaya berceritanya yang sederhana namun kuat dalam mendeskripsikan alam pedesaan mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Ahmad Tohari yang terhimpun dalam Senyum Karyamin dan Kuntowijoyo dalam Dilarang Mencintai Bunga-Bunga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar