Barongsai. Kau tentu mengenal kesenian tradisional yang berasal dari daratan China ini. Singa barong? Burok? Singa barong berasal dari Subang dan daerah Sunda lainnya. Sedangkan burok mungkin agak asing jika kau bukan orang Cirebon. Menyebut burok kau mungkin teringat peristiwa Isra Mi’raj. Rasul Muhammad pernah mengendarai burok saat melakuan perjalanan yang dikenal dengan Isra Miraj. Ia sejenis ‘binatang’ berkaki empat, punya sayap, berkepala manusia secantik bidadari yang dilengkapi dengan mahkota berkilauan. Nah, kendaraan Rasul Muhammad ini rupaya menginspirasi masyarakat Cirebon ketika mereka menciptakan kesenian burok ini.
Sampai sekarang kesenian burok masih marak ditanggap masyarakat Cirebon kala hajatan menyunat anak lelaki mereka. Pengantin sunat naik di punggung burok dengan tangan berpegangan pada leher burok yang jenjang atau sayapnya yang gemerlapan. Burok akan bergerak-gerak, berjoget menghentak mengikuti irama lagu dari para sinden. Jika dulu lagu-lagu yang mengiringi adalah bernuansa religi, kemudian lagu-lagu khas cirebonan dengan alat musik sederhana yakni gitar dan suling. Maka kini sinden-sinden akan mengiringi kesenian burok dengan lagu-lagu dangdut yang tengah hit. Dan burok pun berjoget secara lebih ekspresif dan atraktif.
Kini kesenian burok rupanya telah mengalami ‘pluralisme’ juga. Rombongan kesenian burok yang ditanggap sepupuku saat sunatan anaknya usai lebaran kemarin, tidak hanya menyajikan burok. Mereka juga memiliki singa barong dan barongsai. Jadi ketiga kreasi seni yang berasal dari tradisi dan budaya yang berbeda ini tampil dalam saat dan panggung yang sama. Pengantin sunat secara berganti-ganti duduk di atas punggung singabarong, burok dan barongsai. Tapi tentu saat sang barongsai melakukan atraksi jumpalitan pengantin sunat tidak diperkenankan berada di punggungnya.
Sebagaimana burok, barongsai versi Cirebonan ini pun dimainkan hanya oleh dua orang. Barongsai yang merupakan perwujudan dari singa dan ular naga ini panjangnya pun jadi tidak sampai tiga meter. Para pemainnya bukan orang-orang bermata sipit, melainkan masyarakat Cirebon yang umumnya berkulit coklat tua. Barongsai bergerak, menari, melakukan atraksi dengan iringan musik cirebonan, bukan tambur, simbal dan kenong sebagaimana aslinya. Pembau-ran kesenian tradisonal ini sangat menarik untuk dilihat sebagai upaya kita memraktikkan demokrasi, pluralitas, dan merayakan perbedaan. Bukan hanya kesenian barongsai yang harus melakukan adaptasi-adaptasi, singabarong dan burok pun terus menerus melakukan penyesuaian-penyesuaian. Sayangnya saya tak membawa kamera untuk merekam sehingga kau tidak bisa melihatnya secara kongkrit.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar