Rabu, 17 Juni 2009

Ketika Novelis Menindas Sutradara

Sebelum membeli karcis, bahkan sebelum film ini diproduksi, yakni saat aku menghadiri press conference persiapan pembuatan film ini di Hotel Sultan entah berapa bulan yang lalu—waktu itu aku datang sebagai wartawan sebuah tabloid hiburan, aku sudah pesimis “Ketika Cinta Bertasbih” bakal menjadi film yang layak tonton. Tapi entah mengapa sore itu, sepulang dari sebuah pertemuan kecil dengan dua orang kawan di Tangerang, nekat membeli karcis, menunggu beberapa lama sebelum masuk ruangan remang dengan gelisah, dan menghenyakkan bokong di sofa pojok studio 21 pusat kota itu. Ternyata dugaanku tidak melenceng sama sekali. Film ini digarap semata lantaran kelatahan atas larisnya “Ayat Ayat Cinta”.

Film yang diangkat dari sebuah novel yang konon mega best seller se-Asia Tenggara itu, sungguh-sungguh buruk dan hanya pantas menjadi tayangan sinetron. Taburan bintang senior dan digarap penulis skenario dan sutradara kawakan memang bukan jaminan sebuah film akan bagus. Kau tak akan mendapat secuil pencerahan apa pun dari serentetan adegan yang konon diambil di Mesir. Habiburahman, si penulis novel yang juga ikut main di film ini, terlalu ngotot menjadikan filmnya sejalan dengan novelnya. Celakanya sang sutradara yang telah gaek itu, Chaerul Umam, tampaknya manut saja pada kemauan pengarang novel. Sehingga tak ada kreatifitas yang dilakukannya selain memindahkan teks ke dalam gambar. Aku tak perlu memaparkan betapa hampir semua dialog tokoh-tokohnya berlangsung secara wagu; pengadeganan yang usang dan memaksa; plot yang datar dengan sebab akibat yang menggelikan. Tak ada gambar-gambar yang indah, apa lagi keharuan yang membuncah.

Kurasa Habiburahman telah menindas dengan semena-mena sang sutradara yang terdaya lantaran usia yang telah sepuh. Tak mampu membaca perkembangan bahasa film yang disukai generasi masa kini.

Semuanya memang berawal dari logika cerita film ini yang mengada-ada. Jadi kau tak bisa menyalahkan para pemainnya jika mereka bermain kaku dan membosankan! Plot film ini mengingatkanmu pada drama-drama film India: si miskin bersanding dengan si glamour. Bedanya, jika di film-film India kau menemui tokoh antagonis dan protagonis, maka di film ini semua tokohnya protagonis. Semuanya baik, tidak boleh ada yang ‘jahat’. Karena jahat itu dilarang oleh Qur’an dan kalau mati masuk neraka. Apakah ini salah? Tentu tak ada yang salah. Toh semua orang berhak menjalankan pilihannya, dan kau harus menghormati pilihan yang berbeda. Seperti kata Azzam si tokoh utama,

“Setiap orang mempunyai prinsip. Dan prinsip saya bersandar pada keyakinan saya, Qur’an dan Hadits.” (mudah-mudahan saya tak salah mengutip)
Tapi siapa yang bertanggung jawab jika aku kecewa menontonnya? Negeri ini memang masih tidak mempercayai kreatifitas anak muda. Sikap yang telah terbukti menjadi biang dari kekecewaan demi kekecewaan selama puluhan tahun perjalanan bangsa ini. Hanung Bramantyo, anak muda itu, jauh lebih berhasil manakala dia menerjemahkan ‘Ayat-Ayat Cinta’ ke dalam film. Demikian pula saat membahasakan ‘Perempuan Berkaling Sorban’ ke atas layar. Hanung melakukan kerja-kerja penafsiran atas dua novel tersebut saat dituang ke bahasa gambar. Itulah kerja seorang sutradara. Bukan persoalan jika pengarang novelnya ‘ngambek’ gara-gara itu. Bukankah sebuah karya ketika dilempar ke publik menjadi milik pembaca? Dan setiap pembaca punya imajinasi sendiri untuk menafsirkan teks yang dibacanya. Maka itu wahai novelis, janganlah sombong dan menindas sutradara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar