Kamis, 04 Juni 2009

Tiga Novel Menafsir Tragedi Bubat



Apakah sejarah? Ia terbuat dari waktu dan peristiwa yang telah berlalu. Tapi ia tidak akan hadir di hadapanmu tanpa kepentingan penguasa yang menuliskanya. Sejarah bukan milik rakyat jelata. Pernahkah kau menemukan mereka, rakyat jelata, dalam buku-buku sejarah yang kaubaca? Jika pun ada maka kemunculannya hanya untuk melengkapi si tokoh utama yang kausebut pahlawan, mungkin juga pecundang.

Pikiran ini mungkin akan menghantui ketika kalian membaca novel “Dyah Pitaloka”, “Niskala”, (keduanya karya Hermawan Aksan), dan “Perang Bubat” karya Ade Merdeka Permana. Ketiga novel ini mengambil latar sejarah yang sama tentang Tragedi Perang Bubat, peristiwa yang disebut-sebut sebagai muasal terjadinya konflik Jawa Sunda.



Meskipun ketiga novel ini mengangkat kisah berdasar latar sejarah yang sama, namun kalian akan segera mendapati kisah yang berbeda satu sama lain. Dua novel pertama, bertutur secara lurus dan bersetia dengan apa yang kalian sebut sejarah resmi. Dikisahkan Ratna Citraresmi Dyah Pitaloka—yang lebih populer dengan nama Dyah Pitaloka, perempuan Sunda, putri Prabu Maharaja Linggabuana, raja Kerajaan Sunda terbesar pada 1350-1357 Masehi, harus bunuh diri demi harga diri rakyat kerajaan Sunda di palagan Bubat.

Dyah Pitaloka hadir sebagai perempuan, dalam usianya yang masih belia, punya pikiran ingin menggugat dominasi laki-laki, ketertindasan perempuan dalam perjalanan sejarah kekuasaan raja-raja Sunda. Namun dia bukan sosok yang mampu melakukan perlawanan. Gugatan ini berlangsung hanya dalam keluh dan gumam kepada pamanda Bunisora manakala sang ayahanda menerima pinangan Hayam Wuruk atas putri Sunda nan jelita tersebut. Ia tak kuasa menolak ketika sang ayahanda bersama rombongan kerajaan Sunda membawanya ke negeri Jawa untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Pernikahan itu memang tak pernah terjadi dan berbalik menjadi sebuah tragedi yang meninggalkan jejak panjang dalam ingatan orang Jawa dan Sunda..

Pengkhianatan Patih Gajahmada membatalkan pernikahan agung yang akan menyatukan dua kekuatan besar di tanah Jawa Dwipantara. Sang Patih membelokkan rencana Raja Hayam Wuruk yang bergelar Sri Maharaja Rajasanagara Jayawisnuwardana, dengan memperlakukan rombongan kerajaan Sunda sebagai pengantar upeti dan menjadikan Sang Putri Jelita sebagai upeti yang menandai takluknya negeri Sunda kepada dominasi Majapahit. Inilah yang menjadi pemicu sang putri memilih mengakhiri hidupnya dengan sebilah tusuk konde untuk menjunjung kehormatan negeri Sunda.



Enam tahun kemudian (dalam “Niskala” novel kedua) Pangeran Niskala Wastu Kancana atawa Anggalarang melakukan perjalanan ke Majapahit memburu Sang Maha Patih Gajah Mada yang menjadi otak tragedi Bubat, untuk membalas dendam. Lihatlah, betapa setianya Hermawan Aksan kepada sejarah resmi yang dirujuk novelnya. Dengan plot yang linear—karenanya bisa ditebak— dan penceritaan yang mengingatkan kalian pada adegan-adegan dalam cerita silat dan film laga kita, kalian akan dibawa pada sejarah masa silam yang mengasyikkan. Sensasi dramatik, ketegangan yang tetap terjaga serta rasa penasaran yang terus menguntit sepanjang cerita. Sehingga novel berketebalan 289 ini terasa begitu singkat.

Tidak bisa tidak, kalian akan merasakan pengarang novel ini agak tergesa untuk segera menyelesaikan cerita. Padahal perjalanan dan petualangan Anggalarang dari tanah Sunda sampai bertemu dengan Gajah Mada— yang ternyata telah jadi pertapa lantaran umur yang uzur, cerita bisa jadi ratusan halaman lagi. Tapi sayang, Hermawan tampaknya kelelahan untuk mengeksplorasi perjalanan dan petualangan Anggalarang yang sebenarnya berpotensi menjadikan novel ini lebih tebal dan dramatik. Bisa jadi ini lantaran Hermawan enggan ‘berkhianat’ kepada sejarah resmi tadi.

Dan inilah yang tampaknya secara sadar dihindari oleh Aan Merdeka Permana dalam “Perang Bubat”, novel ketiga yang tengah kalian gunjingkan ini. Aan menampilkan cerita dan membangun karakter tokoh-tokohnya secara ‘melenceng’ dari sejarah resmi. Jika Hermawan menampilkan Gajah Mada sebagai sosok antagonis yang pantas dihujat, maka Aan kebalikannya. Di tangan Aan Gajah Mada berubah menjadi sosok yang pantas diberi simpati lantaran sifat kenegarawanannya. Demi menghindari peperangan besar antara kerajaan Sunda dan Kerjaan Jawa, serta menjaga nama baik Majapahit, Gajah Mada rela dijadikan kambing hitam atas tragedi Perang Bubat.

Gajah Mada memilih pergi dari lingkaran kekuasaan keraton Majapahit dan kembali ke muasalnya menjadi orang biasa. Dia menjadi pejalan sunyi yang terus menerus dihantui kebimbangan akan sepak terjangnya, terutama Sumpah Amukti Palapa yang telah memakan dia sendiri sebagai korban. Tragedi Bubat terjadi tidak sesederhana sebagaimana yang ditulis dalam sejarah resmi, melainkan akibat intrik politik yang rumit di lingkaran keraton Majapahit.

Sedari awal Aan memang memaklumkan bahwa novelnya bukan novel sejarah. Sekalipun mengambil latar dari sejarah Tragedi Bubat, tapi Aan secara tekun menggali sumber lain dan melakukan tafsir lain atas sejarah yang dirujuknya. Sebagai pembaca sastra, seperti dikatakan Saini KM, inilah yang membuat kalian lebih terhanyut. Ini pula yang akan membuat kalian menemukan plot yang meliuk-liuk, tak terduga, dengan ungkapan filosofis yang berhamburan di sana sini. Bayangkan, Dyah Pitaloka ingin menggugat keputusan ayahandanya yang menerima pinangan Hayam Wuruk, bukan didorong oleh kesadaran penindasan jender melainkan karena dia terlibat perasaan cinta dengan Gajah Mada, lelaki dari kalangan biasa yang pernah bekerja sebagai desainer di lingkungan keraton Kawali.

Gajah Mada bernama asli Ma Hong Foe, orang Banten keturunan Cina. Dia bertolak ke negeri Wilwatikta dan menjadi Maha Patih di sana setelah lamarannya untuk mengabdi sebagai prajurit di lingkungan keraton Kawali ditolak oleh ayahanda Dyah Pitaloka lantaran dianggap tidak memiliki asal usul yang jelas. Dan Dyah Pitaloka tidak harus mati bunuh diri di palagan Bubat demi harga diri, melainkan cukup moksa di dalam bilik kapal yang masih tertambat di Muara Jetis. Tentu akan banyak tafsir lain atas peristiwa sejarah yang sama. Kalian mau menuliskannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar