Dua kali hari akhir pekan ini aku menghabiskan waktuku menjadi juru potret amatiran di acara pernikahan dua orang kawanku. Menjadi juru potret di acara pernikahan jelas tidak semengasyikan memotret tempat-tempat wisata, bahkan harus sedikit lebih sabar dibanding saat kau memotret narasumber saat memburu berita. Kau harus meladeni setiap tamu undangan berpose secara kaku dan ogah diarahkan.
Tapi bukan itu yang penting dan ingin aku tulis di sini. Melainkan soal pernikahan. Ya, pernikahan. Ada apa dengan pernikahan? Pernikahan, sebagaimana yang tertulis di surat nikah, ialah mengikrarkan komitmen dua pasang manusia untuk hidup bersama. Kau akan memiliki kawan berbagi kegembiraan dan kesedihan; ada tempat untuk melabuhkan tubuh dan ruh (?). Komitmen itu melahirkan tanggung jawab, hak, dan kewajiban yang harus diemban sebaik-baiknya. Jika tidak, artinya ikrar tidak terlaksana, dan otomatis komitmen batal di tengah jalan. Maka kau harus serius menerjemahkan ikrar yang berupa kata-kata menjadi fakta yang bisa dicecap indra. Sebagian besar orang mempercayai pernikahan sebagai keniscayaan untuk menggamit kegembiraan dan ketenteraman hidup di bumi.
Kau boleh saja tidak percaya dengan konsep pernikahan. Tapi ketika kau hidup di tengah masyarakat yang menerima pernikahan sebagai keharusan bagi sepasang manusia yang mau mengarungi hidup bersama, kau akan dianggap melawan norma dan etika hidup bermasyarakat manakala kau menolak menikah. Kau tidak hanya bakal kena cibir tapi juga dikucilkan dari pergaulan. Bagi sebagian besar masyarakat, tak ada jalan lain untuk bahagia selain mengikatkan diri dalam komitmen bernama pernikahan.
Tapi pernikahan yang dilakukan dua kawanku dengan pasangannya masing-masing bukan lantaran supaya dianggap mematuhi etika hidup bermasyarakat atau kuatir dikucilkan. Bukan. Kawan-kawanku termasuk dalam sebagian besar masyarakat yang sangat mempercayai pernikahan sebagai satu-satunya jalan yang ‘normal’ untuk bahagia. Aku juga percaya mereka menikah bukan hanya lantaran tunduk pada tuntutan norma dan adat, lebih dari itu, menikah bagi mereka adalah sebuah wujud kepatuhan kepada Tuhan. Melahirkan keturunan, mendidik anak-anak, dan menjadi orang tua bertanggung jawab, merupakan bentuk kapatuhan berikutnya.
Itulah hidup yang telanjur harus kau terima. Seakan sudah digariskan begitu saja. Sederhana, bukan? Kau bisa merasa pura-pura semarak bahagia atau pura-pura sengsara dalam dera siksa. Bukankah semua perkara pilihan belaka?
Rabu, 15 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar