Minggu, 05 Juli 2009

Michael Jackson



Telah lewat sepekan sejak kematiannya yang diselimuti misteri. Hampir seluruh media di dunia mengulas kisah hidupnya. Rasanya tak perlu kutulis ulang di sini. Aku hanya akan menyampaikan betapa aku, sebagaimana masyarakat dunia, merasa tersentak dan kehilangan atas kematiannya.

Aku mengenal nama dan menyukai lagu-lagunya sejak aku masih duduk di Madrasah Tsanawiyah. Seusia itu aku sudah hapal suaranya jika sebuah radio memutar lagunya. Aku bahkan berani menggeser gelombang radio yang tengah memtar sandiwara Saur Sepuh ke gelombang lain yang memutar lagunya. Di mataku sosoknya terlihat ajaib, mengagumkan. Saat MTs itu, aku sampai hapal, meski tidak penuh, sebuah lagunya Don’t Stop ‘till You Get Enough. Dengan meniru gayanya yang atraktif aku acap menyanyikan lagi tersebut di depan teman-teman.

Awal-awal masa SMA, dari seorang teman Jakarta, aku berhasil memiliki kaset Black or White. Sampai saat ini aku tak pernah bosan dengan semua lagu yang terdapat di kaset itu. Entah kenapa aku begitu mengidolakannya. Tak peduli bahwa dia berkali-kali operasi plastik dan mengganti warna kulit, yang menunjukkan begitu rasisnya dia. Kau tahu, kekaguman dan fanatisme memang tidak ada urusannya dengan rasionalitas. Begitulah, aku terus mengagumi dan memutar kasetnya jika ada kesempatan sekalipun ustad dan teman-teman komunitas pengajian yang kumasuki memandangku naïf.

Hentakan musik, aksi panggung, syair lagu (meski hanya ngeh artinya sepotomh-sepotong) dan penampilannya memompa semangatku belajar dan bergaul dengan teman-teman, seperti ketika aku membaca dan menikmati puisi-puisi penyair Indonesia. Pada masa SMA itu pula aku mulai menggemari puisi.

Sampai kini, setiap aku memutar lagu-lagunya, aku bagai diterbangkan pada masa masa remaja yang penuh impian menggelikan itu sambil terheran-heran sendiri mengapa bisa demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar