Senin, 20 Juli 2009

Kebanggaan

“Kepala sekolahnya tidak ada. Sedang rapat,” cetus ibu guru muda itu dengan sorot mata curiga ketika saya datang meminta waktunya untuk wawancara. Dia tidak sekadar telah membohongi saya tapi juga melindungi dirinya supaya tidak diwawancara. Karena ternyata kepala sekolah yang saya maksud tak lain dia sendiri. Ini saya ketahui belakangan setelah saya berhasil mewawancarainya menggantikan ‘kepala sekolah’ yang dikatakannya ‘sedang rapat’.

Pada akhir wawancara yang berlangsung hangat dan cair, ibu guru berwajah cukup manis berusia 42 tahun itu menjelaskan alasannya berbohong. Menurutnya, dia sering kedatangan wartawan (bermedia/tanpa media) yang pura-pura ingin wawancara padahal bertujuan memeras. Terus terang, perihal wartawan (palsu) yang gemar memeras sudah lama saya maklum. Tapi memeras kepala sekolah dasar negeri yang gedungnya saja mau roboh, membuat saya shock.

“Mereka wawancara cuma untuk mengorek-ngorek soal bantuan dana BOS (Biaya Operasional Sekolah). Lalu ujung-ujungnya minta uang,” jelasnya. Coba bayangkan, bagaimana kau tidak geram mendengar cerita macam begini. Profesi wartawan yang kaubangga-banggakan selama ini, bahkan di depan kepala sekolah dasar terlihat begitu nista.

Saya ingat, dulu semasa duduk di SMA, betapa kagumnya pada profesi bernama wartawan. Sebuah profesi yang penuh tantangan dan petualangan mendebarkan. Profesi yang tidak sembarang orang bisa menjalaninya karena menuntut intelektualitas, kepekaan dan serba tahu. Profesi yang mencerdaskan masyarakat. Profesi yang jika tidak ada akan membatalkan negara yang menyebut diri demokratis.

Sampai saat saya baru masuk dunia kerja, saya masih percaya dengan ‘keagungan’ wartawan. Saya mulai menimbang kembali kepercayaan saya terhadap wartawan manakala saya mulai terlibat dalam organisasi buruh dan pemogokan. Kepercayaan saya makin melorot usai pecahnya reformasi di negeri yang kau cintai ini. Setiap orang bisa dengan mudah menjadi wartawan. Bahkan seorang montir yang bekerja di bengkel pun, jika kau buatkan dia kartu pers maka dia bisa jadi wartawan. Celakanya menjadi wartawan buat mereka adalah untuk tujuan-tujuan memeras, mengemis, menadah (duh, ada kata yang lebih keren lagi nggak sih bo! Please deh).

Kau tahu wartawan-wartawan (palsu) macam ini masih lebih menjengkelkan dibanding
menjadi wartawan media hiburan (baca: gosip) seperti yang pernah saya lakoni beberapa tahun silam. Jika menjadi wartawan media gosip kau mungkin hanya akan dibentak oleh artis yang ogah diwawancara masalah pribadinya, atau kau tidak dianggap bagian dari profesi wartawan oleh sebuah organisasi pers. Maka menjadi wartawan (baik bermedia atau tanpa media) yang gemar mengutip uang dari narasumber, kau akan dipandang hina bahkan oleh guru sekolah dasar. Alangkah malang. Jika demikian, masihkah kau bangga menjadi wartawan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar