Minggu, 31 Mei 2009

Gramedia Grand Indonesia Gelar Diskon

Gramedia Grand Indonesia Gelar Diskon

Setelah berbulan-bulan mencari akhirnya aku berhasil mendapatkan ‘Niskala’, novel karya Hermawan Aksan di Gramedia Grand Indonesia, dengan harga diskon sebesar 30 persen. Seperti biasa, sekali sepekan aku memang hampir selalu mengunjungi toko buku. Jika tidak di toko buku Gunung Agung atau Gramedia Blok M, dua tempat yang paling dekat dengan kantorku, aku ngluyur ke Gramedia Semanggi, atau Grand Indonesia, Thamrin. Kadang Gramedia Matraman. Sering pula ke Gunung Agung, Atrium Senen, jika hendak pulang kampung menggunakan kereta dari Stasiun Senen.

Aku telah membaca ‘Dyah Pitaloka’. ‘Niskala’ merupakan kelanjutannya. Aku suka membaca kedua novel ini lantaran penuturannya yang mengalir lembut, dan terutama mengingatkanku pada sandiwara radio Saur Sepuh, favoritku masa kanak dulu. Setelah selesai membaca nanti segera kutuliskan resensinya di blog ini.

Selain di toko buku, aku juga gemar sekali mencari buku dan majalah bekas di lapak buku bekas terminal Senen, jika tidak di kios majalah bekas di Pasar Festival Kuningan. Biasanya aku membeli beberapa buku dan majalah bekas untuk oleh-oleh pulang kampung. Di kios buku bekas Pasar Festival, majalah bekas seperti Femina, Pesona, Kartini, dan majalah gaya hidup lainnya dijual 3 eksemplar sepuluh ribu perak. Sementara majalah pria Esquire dua puluh ribu perak per dua eksemplar, alias sepuluh ribu peraksemplar. Lebih mahal sedikit dengan di sekitar terminal Senen. Karena tempatnya memang lebih ‘beradab’, ber-ac, dan ada meja berpayung yang nyaman buat baca sambil duduk dan minum soft drink dari kafe tak jauh dari kios majalah. Di sini kau tidak akan kepanasan dan terpapar debu.

Aku biasanya akan membagi-bagikan majalah itu kepada kawan-kawan di kampung. Kadang mereka juga pesan majalah Trubus, Al Kisah, dan majalah mistik. Untuk jenis terakhir aku tidak pernah memenuhinya.

Kembali ke soal diskon di Gramedia Grand Indonesia. Aku tak tahu jika hari itu tengah digelar diskon. Aku tahu setelah mesin hitung di meja kasir memperlihatkan angka jumlah uang yang harus kubayarkan. Pantas pengunjung lebih ramai dari biasanya. So, aku girang bukan kepalang. Kasir cantik itu menjelaskan perihal diskon tersebut dengan senyum super manis. Sayang aku tidak diperkenankan memotretnya sehingga kalian tidak bisa ikut menikmati manisnya senyum si kasir.

Selasa, 26 Mei 2009

Menolak Mentok

Sepekan sebelum aku pulang, kawanku memberi tahu bahwa dia akan membawa anak-anak sanggar ke sebuah bukit dekat air terjun di daerah Cidahu, Kuningan, Jawa Barat. Dia meminta kesediaanku turut ke sana, memberi materi penulisan (istilahnya keren ya!) pada anak-anak sanggar binaannya. Kegiatan ini sebenarnya kami telah kami lakukan sejak tiga bulan terakhir. Kali ini kami memindahkan lokasi ke alam terbuka.

“Sekalian tadabur alam,” ujar kawanku itu memberi penjelasan.

Selain materi penulisan, pada mereka kami berikan diskusi perihal isu global warming; cara paling sederhana yang bisa kami lakukan untuk mencegah dan menyelamatkan bumi. Ada kawan dari Bandung yang memberi materi ini.

Begitulah, kami berdiskusi di antara suara debur air terjun, embusan angin lembah menabuh daun-daun, cicit burung, dan suara hewan yang sekian tahun kami rindukan. Suasana ini entah berapa lama sudah menghilang dari keseharianku. Aku seperti menemukan kembali sisa-sisa masa lalu yang sayup, menjauh, hampir hilang. Kegiatan kali ini jelas memberikan pengalaman berbeda dari yang selama ini kami lakukan di dalam sanggar kami yang sempit di tengah rumah-rumah penduduk.

Pada kegiatan serupa ini, akan selalu muncul pertanyaan “Saya sering mentok kalau menulis. Gimana supaya tidak mentok?” Ini pertanyaan sangat biasa tapi tak pernah ada jawaban yang betul-betul memuaskan. Sebab setiap orang mempunyai resep yang berbeda untuk mengatasi mentok saat menulis. Setiap penulis punya strategi masing-masing untuk terhindar dari kementokan. Buat orang yang baru mau belajar menulis, tidak perlu risau menghadapi situasi seperti ini. Sebab, bahkan seorang penulis kampiun sekalipun tak pernah benar-benar bebas dari situasi mentok. Resep yang paling sederhana dan paling banyak ditempuh penulis adalah dengan terus menerus menulis. Karena, seperti kegiatan main bulus tangkis, main voli, dan kegiatan apa pun, kau tidak akan pernah bisa tanpa terus menerus melakukannya.

Seperti kata Arswendo Atmowiloto, kemauan yang terus menerus mencoba itulah yang dinamakan bakat! Tentu kau juga disarankan banyak membaca, memperkaya wawasan, dan mendekati obyek yang hedak ditulis secara lebih mendalam, rinci dan jeli.

Kami meninggalkan lembah berair terjun itu menjelang senja. Aku dan anakku digonceng motor kawanku, kembali ke rumah. Malamnya anakku bercerita kepada kakak dan ibunya tentang pengalamannya mandi di bawah air terjun.

“Pekan depan ke pantai,” rengek si kakak.

Minggu, 17 Mei 2009

Perempuan Lajang itu...


Ruthanne Lum Mc Cunn, aku tidak pernah mendengar nama pengarang ini sebelumnya—untuk persoalan ini jelas aku yang kuper. Aku baru mengenalnya setelah secara iseng aku membeli novelnya ‘Tiga Dara Berhati Baja’ seharga 10.000 rupiah pada sebuah pesta buku di Gelora Bung Karno dua bulan lalu. Dengarlah, judul novel itu. Akan mengingatkan kalian pada judul film laga nasional era 80-an. Kuberitahu, ini bukan novel silat, meskipun ada beberapa adegan pukul memukul di sana. Ini novel tentang perempuan-perempuan yang memilih tidak menikah. Selain judulnya yang agak jadul, cover buku ini terkesan norak sekali. Lihatlah, gambar kupu-kupu dalam balutan empat warna, orange, kuning, dan garis-garis hitam. Tapi kadang cover tidak mewakili isi. Paling kurang itu yang akan kau rasakan saat mulai membaca halaman demi halaman novel terbitan Q Press ini. Kau akan dibawa menjelajah China abad 19 dalam 370 halaman buku.

Bersetting di Cina Selatan tahun 1830, novel multiplot yang bergerak lincah ini mengabarkan betapa sejak dari dahulu kala perempuan selalu menjadi korban kekerasan. Pada masa itu ada tradisi setiap anak perempuan yang mulai tumbuh menjadi remaja harus tinggal di Rumah Gadis di waktu malam. Di sana mereka diajari bagaimana menjadi istri taat pada suami dan menjadi menantu yang patuh pada mertua. Para pencari jodoh akan mendatangi Rumah Gadis untuk memilih salah satu untuk pria yang sedang mencari istri. Orang tua gadis yang terpilih akan menerima sejumlah uang dan bentuk harta lainnya dari calon besan mereka. Setelah itu si gadis akan menjadi milik si suami dan keluarganya. Selain menjadi budak seks suami, si gadis harus bekerja untuk keluarga suami tanpa upah. Bahkan makan pun dijatah.

Kau akan bertemu Yun Yun, gadis yang dipilih menjadi istri oleh putra keluarga Chow harus menanggung siksa sepanjang hidupnya. Si suami bahkan tidak peduli Yun Yun hamil, dan dia terus saja diperas tenaganya untuk seks dan pekerjaan. Saban hari Yun Yun harus turut bekerja di dapur dan membantu keluarga Chow di peternakan ulat sutra.

Menolak menjadi istri semacam itu, tiga orang gadis di Rumah Gadis memutuskan untuk tidak menikah dan hidup mandiri. Mereka tinggal bertiga di sebuah rumah yang mereka sewa secara patungan. So, keputusan tiga gadis ini menimbulkan goncangan pada nilai-nilai tradisi yang telah mengakar. Cercaan, hinaan, pengucilan menjadi risiko paling ringan yang harus ditempuh tiga gadis ini.

Membaca semangat ketiga gadis ini, kau akan tahu memilih hidup melajang dan mandiri adalah merebut kendali atas hidupmu sendiri. Tanpa kendali sendiri, kau akan gampang mengabaikan tanggung jawab.

Menjadi perempuan lajang sampai sekarang bahkan di Amerika sekalipun kurang dianggap terhormat dibanding dengan mereka yang menikah. Menempuh hidup sebagai lajang di Indonesia akan selalu dipandang sebagai perempuan tidak laku, memalukan. Bahkan orang menganggap status janda lebih jelas ketimbang perempuan lajang. Kekerasan psikis yang harus diterima perempuan ini telah melembaga dalam aturan-aturan negara. Perempuan yang secara sadar memilih tidak menikah, tetap melajang, dianggap melanggar etika masyarakat. Perempuan lajang itu, duh…

Ruthanne Lum McCunn, aku tidak tahu apakah dia seorang perempuan yang memilih melajang? Atau jangan-jangan dia laki-laki lajang? Di buku ini tidak ada informasi apa pun mengenai profil pengarang satu ini, selain telah menulis tiga fiksi dan empat nonfiksi. Selebihnya adalah informasi bahwa novel ini dicetak pertama pada April 2007 lalu. Diterjemahkan oleh Yanto Musthofa atas izin dari The Moon Pearl, 25 Beacon Street, Boston, Masachusetts, USA, 2000. Mungkin aku akan googling aja, atau bertanya pada kawan novelis.

Sabtu, 09 Mei 2009

Berkelit

Hidup sering tak sejalan dan berkelit jauh dari keinginanmu. Begitulah. Pagi itu kau bangun lebih lekas dari biasa. Padahal semalam kau terlelap menjelang subuh menyelesaikan tulisan untuk menambah penghasilan supaya besok bisa terbebas dari tagihan dan bisa santai. Sisa kantuk kaukibas dengan guyuran air dingin di kamar mandi. Kau mendapati tubuhmu segar, dan sebentar lagi kau bisa menghirup udara pagi kegemaranmu, menikmati jilatan mentari pada kulitmu. Kau bersiul-siul kecil membayangkan sebuah pertemuan yang amat kau rindukan. Ya, kau telah menyiapkan semuanya sejak dua malam lalu. Kau akan menemui seseorang yang mampu memberi kesegaran pada hidupmu yang rutin dan remeh. Kau tidak perlu membawa kamera, beberapa berkas, tape recorder, dan perlengkapan kerja ingin kauhindari; bikin penuh tasmu, dan pegal punggungmu karena harus menggendongnya kian kemari. Kau cukup menjinjing tas kain berisi sebuah novel, bolpoin, buku notes mungil, kaus, dan celana pendek. Dan yang terpenting, syarafmu bebas dari ketegangan.

Namun, mendadak ponselmu berdering, sebuah pesan singkat masuk: Hari ini jam 12 ada liputan di Bank Indonesia. Tolong datang, dan bikinkan tulisan kegiatan media gathering.

Uh…

Berantakan semua. Kau menatap kesal lemari besi dipojok ruangan tempat kautaruh kamera, recorder, dan sejumlah berkas (tak) penting lainnya. Lantas dengan menyesal mengirim pesan pembatalan pada seseorang yang mungkin sedang berdebar menanti kedatanganmu…