Selasa, 26 Mei 2009

Menolak Mentok

Sepekan sebelum aku pulang, kawanku memberi tahu bahwa dia akan membawa anak-anak sanggar ke sebuah bukit dekat air terjun di daerah Cidahu, Kuningan, Jawa Barat. Dia meminta kesediaanku turut ke sana, memberi materi penulisan (istilahnya keren ya!) pada anak-anak sanggar binaannya. Kegiatan ini sebenarnya kami telah kami lakukan sejak tiga bulan terakhir. Kali ini kami memindahkan lokasi ke alam terbuka.

“Sekalian tadabur alam,” ujar kawanku itu memberi penjelasan.

Selain materi penulisan, pada mereka kami berikan diskusi perihal isu global warming; cara paling sederhana yang bisa kami lakukan untuk mencegah dan menyelamatkan bumi. Ada kawan dari Bandung yang memberi materi ini.

Begitulah, kami berdiskusi di antara suara debur air terjun, embusan angin lembah menabuh daun-daun, cicit burung, dan suara hewan yang sekian tahun kami rindukan. Suasana ini entah berapa lama sudah menghilang dari keseharianku. Aku seperti menemukan kembali sisa-sisa masa lalu yang sayup, menjauh, hampir hilang. Kegiatan kali ini jelas memberikan pengalaman berbeda dari yang selama ini kami lakukan di dalam sanggar kami yang sempit di tengah rumah-rumah penduduk.

Pada kegiatan serupa ini, akan selalu muncul pertanyaan “Saya sering mentok kalau menulis. Gimana supaya tidak mentok?” Ini pertanyaan sangat biasa tapi tak pernah ada jawaban yang betul-betul memuaskan. Sebab setiap orang mempunyai resep yang berbeda untuk mengatasi mentok saat menulis. Setiap penulis punya strategi masing-masing untuk terhindar dari kementokan. Buat orang yang baru mau belajar menulis, tidak perlu risau menghadapi situasi seperti ini. Sebab, bahkan seorang penulis kampiun sekalipun tak pernah benar-benar bebas dari situasi mentok. Resep yang paling sederhana dan paling banyak ditempuh penulis adalah dengan terus menerus menulis. Karena, seperti kegiatan main bulus tangkis, main voli, dan kegiatan apa pun, kau tidak akan pernah bisa tanpa terus menerus melakukannya.

Seperti kata Arswendo Atmowiloto, kemauan yang terus menerus mencoba itulah yang dinamakan bakat! Tentu kau juga disarankan banyak membaca, memperkaya wawasan, dan mendekati obyek yang hedak ditulis secara lebih mendalam, rinci dan jeli.

Kami meninggalkan lembah berair terjun itu menjelang senja. Aku dan anakku digonceng motor kawanku, kembali ke rumah. Malamnya anakku bercerita kepada kakak dan ibunya tentang pengalamannya mandi di bawah air terjun.

“Pekan depan ke pantai,” rengek si kakak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar