Rabu, 25 Maret 2009

Stasiun Kepedihan

Pikiran tentang kehilangan, kepergian, sesuatu yang mencemaskan, menjadi lampau dan dilupakan, acap menerjangku setiap melihat stasiun kereta api. Kau akan melihat diriku berkerumun di antara orang-orang yang menanti kereta dengan pandangan penuh kepedihan yang memupus harapan tentang kepulangan, tentang rumah dan kehangatan.

Selalu ada dorongan untuk kembali meraba dada, melihat wajah, menandai tubuhku. Akan selalu kutemukan diriku yang tak penuh, tak utuh. Seperti ada yang selalu tanggal dan terpaksa harus kutinggalkan. Dalam rentang waktu tertentu aku akan merasa goyah, runtuh, tapi harus selalu kususun lagi dengan susah payah—terkadang ingatan ini patah di tengah. Menatap mereka yang harus meninggalkan tanah kelahiran menuju tempat yang diangankan sebagai kota untuk mungkin menjemput serupa cita-cita atau sekadar angan-angan belaka. Mereka yang terpaksa harus pergi, pergi, dan pergi…

Di stasiun kau akan selalu bertemu dengan orang-orang yang tak pernah kauduga dari masa lalu. Mungkin seseorang yang pernah dekat dan begitu kaurindukan di masa yang telah menjauh dan semakin menjauh, atau seseorang yang diam-diam kaubenci dan ingin kaulupakan sama sekali.

Di stasiun kereta aku pernah bertemu kembali dengan kawan masa kanak, masa remaja, dan masa-masa lainnya yang telah bergulir, terbenam entah di mana tapi kadang terasa begitu dekat, begitu akrab. Dan akan segera kausadari betapa ia sukar disentuh, sukar ditempuh (kembali).

Suatu kali aku bertemu dia, kawanku di masa SMP. Dia mengantarkan istrinya yang akan berangkat ke penampungan TKW (tenaga kerja wanita). Di stasiun kereta aku pernah bertemu dengan kawan semasa SD yang bekerja di Jakarta. Dia ulang alik Jakarta-kampung halaman saban bulan seperti yang kujalani dengan perasaan rawan, tertahan-tahan. Di stasiun kereta aku pernah bertemu dengan saudaraku yang entah mengapa ingin kuhindari. Dia melambaikan tangan, memandangku yang gugup, gemetar entah mengapa. Sorot matanya menuduhku dengan semacam kata-kata, ke mana saja sih kamu nggak pernah main ke rumah. Uwak sakit gak ditengok. Lupa ya?

Aku teringat tentang kepergian, kehilangan, sesuatu yang mencemaskan. Begitu banyak kaum kerabat yang ingin dikunjungi setiap kupulang. Namun, waktu- waktu, waktu…duh terbuat dari apakah kamu? Tanpa perasaan menyeretku di stasiun ini lagi, lagi, dan lagi. Uh, tak pernah cukup 24 jam sehari, tujuh hari seminggu…

Kulihat wajah mereka berbinar. Tetapi aku selalu merasa ada kepedihan yang ditimbun diam-diam dalam tutur kata dan kalimat basa-basi, dalam keterkejutan yang tak bertahan lama. Kadang kami saling bertukar nomor telepon, dan kartu nama, untuk kemudian saling melupakan. Stasiun…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar