Rabu, 18 Maret 2009

Sepeda (Motor)



Sejak dua bulan terakhir tak ada sepeda motor di rumahku. Seseorang telah mengambilnya. So, betapa tersiksanya. Aku tidak bisa membawa anakku ke pantai, atau sekadar menyusuri jalanan kampong seraya menikmati pemandangan persawahan. Aku juga batal memenuhi janjiku mengunjungi mantan guru matematikaku dulu. Dan sejumlah teman lain yang ingin kukunjungi.

Hidup di kampung tanpa sepeda motor memang mengesalkan. Mestinya, ya mestinya, aku tidak perlu kesal. Toh masih ada sepeda (kereta angin). Tapi kau tahu, jarak yang cukup jauh jelas membutuhkan energi untuk mengayuh pedal sepeda. Kau pasti ngos-ngosan sesampai di tujuan, dan keringatmu bercucuran.

Bukankah mengayuh sepeda lebih sehat? Darah terpompa lebih cepat, mengurangi polusi dan menghidupkan kembali kenangan masa kecil. Duh rupanya aku tidak sekuat yang kusangka. Begitu saja menjadi bagian dari mereka. Ke mana-mana harus menggunakan kendaraan bermotor, peduli setan dengan polusi yang diakibatkannya sekecil apa pun.

Sepeda motor sejak beberapa tahun belakangan mengepung kampungku. Ke manapun orang tak mau lagi naik sepeda. Hanya beli gado-gado berjarak 50 meter dari rumah saja orang harus naik motor. Anak-anak muda akan lebih merasa percaya diri jika ke sekolah naik motor. Motor jadi simbol status sosial. Orang tiba-tiba merasa kere dan rendah diri ketika harus naik sepeda, apalagi jalan kaki seperti masa aku SMP dulu.

Aku jadi teringat Sybren Aij, seorang klienku dari Belanda. Padanya aku bertanya, apa pendapatmu tentang Indonesia? Dia menjawab “Saya kaget waktu pertama kali datang ke Indonesia, saya berasal dari negeri yang masyarakatnya ke mana-mana terbiasa menggunakan sepeda atau berjaan kaki. Di Indonesia orang ke mana pun naik mobil,”

Begitulah, di negara maju orang menghindari penggunaan kendaraan bermotor karena menyayangi lingkungan yang bebas polusi, di negeri kita orang-orang meninggalkan sepeda supaya dianggap makmur. Kasihan deh …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar