Dia menjemputku di depan RM Sederhana, Margonda, Depok. Wajahnya tampak sumringah. Menyembulkan senyum hangat dan akrab seperti yang kau dapatkan dari seorang kawan lama yang merasa gembira dengan kunjunganmu. Betapa girang mendapati seseorang yang merasa senang melihat kehadiranmu di dekatnya. Senyum yang menumpas penatku, setelah hampir sejam digasak kemacetan dan kesemrawutan lalulintas Jakarta. Dia melambaikan tangan dari sebuah lurung seberang RM Sederhana. Dia menggamitku begitu aku sampai di seberang. Kami memasuki lorong, beberapa puluh meter, belok ke kanan. Di sana tampak warung makan di antara rimbunan kebun.
“Mereka kawan-kawanku,” ujarnya, melemparkan pandang pada sekelompok orang yang tengah asyik diskusi seraya minum kopi dan mencaplok sejumlah jajanan, mengepulkan asap rokok tak habis-habis dari mulut dan hidung mereka. Kami segera mengambil posisi paling enak, sebelum memesan menu. Aku memang lapar. Jadi langsung saja aku makan. Entah berapa lama kami duduk di warung yang pengelolanya ramah-ramah itu. Tak terasa. Tentu karena dia, kawanku itu, memberikan obrolan yang mengasyikkan. Sikapnya yang rendah hati telah memupus kegugupanku. Maka begitu saja aku mendapati perasaanku begitu riang, menyimak obrolannya yang menyinggung banyak topik yang semuanya aku gemari: penulisan, film, novel dan filsafat. Tentu aku lebih banyak menyimak. Kawan-kawan perempuannya yang manis membikin aku makin gembira.
Pembicaraan mengenai film Slumdog Millionaire yang memenangi Oscar menjadi topik yang paling menarik. Film ini ternyata diangkat dari sebuah novel berjudul Q&A karya diplomat India. Hanya saja banyak hal penting dalam novel tidak diangkat dalam film. Mungkin itu sebabnya tidak ada keterangan tentang novel tersebut di poster film karya Danny Boyle ini, kecuali ucapan terima kasih di pengujung film. Ini yang membuat dia tampak gusar. Dia sadar bahwa media visual berbeda dengan novel. Tapi menurutnya filmnya telah menggusur moral novelnya. Keikut sertaan Malik (tokoh sentral dalam novel) dalam kuis berhadiah milyaran hanya modus untuk membunuh si presenter. Sementara di film menjadi topik utama untuk memperoleh hadiah. Ruh perenialisme dalam novel juga kandas di film.
“Ini yang kutulis, dan sudah kukirim ke Kompas,” ujar kawanku itu.
Kami beranjak dari sana mendekati pukul sembilan malam. Malam itu aku menginap di rumahnya yang berjarak satu jam-an dari terminal Depok. Janji yang telah lama kuucapkan ketika beberapa kali dia mengundangku bertandang ke rumahnya. Ketika dia mengundangku, semula aku berpikir sekadar basa-basi.
“Mainlah ke rumah, kawan! Kau bisa menginap dan membaca-baca buku koleksiku,” demikian ucapnya lewat telepon maupun facebook. Tentu saja ini undangan menarik, terlebih datang dari dia. Oya, kawanku yang tengah kubicarakan ini Damhuri Muhammad. Kau tentu karib dengan nama ini, si cerpenis dan esais yang tengah moncer di jagat sastra Indonesia mutakhir.
Ternyata bertandang ke rumahnya tidak hanya memberi pengalaman yang menyenangkan, tapi juga menyegarkan kepercayaanku bahwa ada yang selalu berharga untuk diperjuangkan, dinikmati, dirawat, dan dicintai secara sungguh-sungguh.
Aku berkenalan dengan istri, dan anaknya yang lucu: Tualang. Hampir semalam suntuk kami ngobrol di rumah baru mungilnya yang baru dia tempati tiga bulan terakhir. Dari ruang kerjanya yang penuh jejeran buku yang tertata rapi di rak, ke ruang tengah, sampai ke teras depan.
“Tanamilah pohon supaya sejuk, Dam,” usulku, di sela-sela obrolan seputar Martin Heidegger, Jurgen Habermas. Uh, jujur saja aku pusing kali bahkan sekadar mengeja nama tokoh-tokoh filsafat itu. Sementara dia terdengar sangat fasih. Dia menyilakan aku meminjam sejumlah novel yang kuimpi-impikan: The Name of the Rose Umberto Eco, Snow Orhan Pamuk. Sebuah buku kumpulan cerpen pengarang kenamaan dihadiahkannya padaku. Kutitipkan My Name Is Red Orhan Pamuk di rak bukunya.
“Tak pelu barter,” ujarnya
“Biarlah, berat bawanya,” kelitku.
Menjelang tengah hari aku pulang dengan perasaan puas. Menggunakan motor dia mengantarku sampai halte UI. Semula dia hendak bareng denganku ke Islamic Book Fair di Senayan. Kawan lamanya dari Padang mau bertandang membuat dari harus menuggu di rumah. Di halte aku melepasnya dengan semacam ucapan, kau baik sekali, kawan! Aku pasti akan datang lagi…
Di Senayan aku membeli sejumlah novel: Cinta Terlarang Andre Aciman, Gemblak Enang Rokajat Assura, Genijora Abidah El Khalieqy (terbitan Qanita, Mizan), City of God E. L. Doctorow, dan Tiga Dara Berhati Baja Ruthanne Lum Mc Cunn. Aku pulang setelah gagal menemukan novel Niskala Hermawan Aksan yang kucari-cari sejak sebulan lalu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar