Ini anakku yang kedua. Gemar maen game, kadang saja ngaji ke surau. Suka maen bola bersama para koleganya. Makanan yang jadi favoritenya belakangan ini ialaha es krim...
Selasa, 27 Januari 2009
Kamis, 22 Januari 2009
Kegemaran
Gara-gara anakku aku jadi ketularan suka es krim. Entah sejak kapan anakku, terutama yang laki, gemar banget makan es krim (dan main game). Mungkin sejak minimarket tumbuh subur di sekitar tempat tinggal kami.
Begitulah, setiap aku pulang, anakku pasti merengek dibawa ke minimarket. Tujuan pertama jelas beli es krim, selebihnya baru majalah Bobo, dan kadang komik. Dua hal ini di luar belanja kebutuhan lain: sabun-sabun, dan makanan dan lain-lain. Meski makan es krim bukan sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, tapi aku tahu dampaknya kurang baik bagi anakku, terutama kebiasaan belanja ke minimarket itu. Mereka jadi terlatih konsumtif.
Sebab itu kadang aku mengimbanginya dengan membawa mereka ke tepi laut. Jaraknya hanya beberapa kilo dari rumah kami. Kadang ke sana bersama ibu mereka juga. Bawa bekal dari rumah, makan di tepi laut seraya menatap hamparan biru laut yang menyatu dengan biru langit di ujung sana. Kami lalu kejar-kejaran di tepi laut. Meski pasirnya bercampur lumpur, namun itu sudah cukup buat kami. Kadang menapaki onggokkan batu ke tengah laut. Onggokan batu yang dibuat untuk meredam gelombang ini juga dijadikan tempat mancing. Nah, anakku gemar pula mancing, padahal kami tidak pernah membawa pancing. Jadilah anakku tidak hanya melihat tapi juga mengganggu orang-orang yang mancing. Kadang ada saja yang dia dapatkan untuk dijadikan alat memancing.
Selain ke tepi laut, dan minimarket, sebetulnya aku pengin sekali membawa anakku ke bukit, ke kantor pos, ke perpustakaan. Tapi kau tahu, di desaku perpustakaan adalah barang langka. Zamanku dulu barangkali lebih beruntung, karena masih ada kios penyewaan komik. Sekarang, yang tumbuh adalah kios game online sebagai gantinya.
Tapi kata Murti Bunanta, pendidik dan pengarang cerita anak, kehadiran game, play station dan sejenisnya tidak perlu dirisaukan. “Asal seimbang, kadang ada game, kadang ada nonton televisi, kadang dongeng,” katanya. Aku secara sengaja menyambangi kantornya KPBA (Kelompok Pecinta Bacaan Anak) di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, beberapa pekan lalu.
Begitulah, setiap aku pulang, anakku pasti merengek dibawa ke minimarket. Tujuan pertama jelas beli es krim, selebihnya baru majalah Bobo, dan kadang komik. Dua hal ini di luar belanja kebutuhan lain: sabun-sabun, dan makanan dan lain-lain. Meski makan es krim bukan sesuatu yang berbahaya bagi kesehatan, tapi aku tahu dampaknya kurang baik bagi anakku, terutama kebiasaan belanja ke minimarket itu. Mereka jadi terlatih konsumtif.
Sebab itu kadang aku mengimbanginya dengan membawa mereka ke tepi laut. Jaraknya hanya beberapa kilo dari rumah kami. Kadang ke sana bersama ibu mereka juga. Bawa bekal dari rumah, makan di tepi laut seraya menatap hamparan biru laut yang menyatu dengan biru langit di ujung sana. Kami lalu kejar-kejaran di tepi laut. Meski pasirnya bercampur lumpur, namun itu sudah cukup buat kami. Kadang menapaki onggokkan batu ke tengah laut. Onggokan batu yang dibuat untuk meredam gelombang ini juga dijadikan tempat mancing. Nah, anakku gemar pula mancing, padahal kami tidak pernah membawa pancing. Jadilah anakku tidak hanya melihat tapi juga mengganggu orang-orang yang mancing. Kadang ada saja yang dia dapatkan untuk dijadikan alat memancing.
Selain ke tepi laut, dan minimarket, sebetulnya aku pengin sekali membawa anakku ke bukit, ke kantor pos, ke perpustakaan. Tapi kau tahu, di desaku perpustakaan adalah barang langka. Zamanku dulu barangkali lebih beruntung, karena masih ada kios penyewaan komik. Sekarang, yang tumbuh adalah kios game online sebagai gantinya.
Tapi kata Murti Bunanta, pendidik dan pengarang cerita anak, kehadiran game, play station dan sejenisnya tidak perlu dirisaukan. “Asal seimbang, kadang ada game, kadang ada nonton televisi, kadang dongeng,” katanya. Aku secara sengaja menyambangi kantornya KPBA (Kelompok Pecinta Bacaan Anak) di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan, beberapa pekan lalu.
Jumat, 09 Januari 2009
Percuma
Aku tidak melakukan apa pun yang membuatku merasa bermanfaat seharian ini. Bangun di atas
pukul tujuh, cuci muka, baca sana baca sini tanpa kenikmatan. Masak mie campur sawi dan telur setengah matang. Lantas merokok seraya bengong dengan pikiran melompong. Sebenarnya aku tahu apa yang harus aku kerjakan: mencuci tumpukan baju kotor, mengepel lantai, membersihkan dinding, menulis artikel untuk majalah Mozaik. Tetapi rasanya malas betul. Seolah-olah semua tak berguna kulakukan. Tubuhku terasa lemas seperti tersedot kekuatan entah apa. Mungkinkah seseorang tengah mengguna-gunaiku? Kau tahu, ini pikiran konyol yang menggelikan.
Aku tak mandi sampai pukul sebelas siang. Dengan sedikit memaksa aku membuka computer, dan mencoba mengakses internet. Syukurlah, pulsa habis. Browsing sana sini sering membuatku semakin hampa. Aku ingat, ini hari Jumat. Aku harus Jumatan dengan harapan bia sedikit mengusir perasaan percuma.
Aku mengguyur tubuhku. Pori-pori kulitku mengembang merasakan kesegaran. Kucuci rambutku, menggosok gigiku, mencukur kumis. Pulang dari Jumatan aku tak merasa lapar, tapi aku memaksakan diri ke warung mencari makanan. Perut kosong gampang membuat sakit.
Aku teringat sejumlah orang yang pernah melintas di kehidupanku. Aku sering berpikir menjadi mereka. Menjalani hari-hari yang mungkin berbeda.
pukul tujuh, cuci muka, baca sana baca sini tanpa kenikmatan. Masak mie campur sawi dan telur setengah matang. Lantas merokok seraya bengong dengan pikiran melompong. Sebenarnya aku tahu apa yang harus aku kerjakan: mencuci tumpukan baju kotor, mengepel lantai, membersihkan dinding, menulis artikel untuk majalah Mozaik. Tetapi rasanya malas betul. Seolah-olah semua tak berguna kulakukan. Tubuhku terasa lemas seperti tersedot kekuatan entah apa. Mungkinkah seseorang tengah mengguna-gunaiku? Kau tahu, ini pikiran konyol yang menggelikan.
Aku tak mandi sampai pukul sebelas siang. Dengan sedikit memaksa aku membuka computer, dan mencoba mengakses internet. Syukurlah, pulsa habis. Browsing sana sini sering membuatku semakin hampa. Aku ingat, ini hari Jumat. Aku harus Jumatan dengan harapan bia sedikit mengusir perasaan percuma.
Aku mengguyur tubuhku. Pori-pori kulitku mengembang merasakan kesegaran. Kucuci rambutku, menggosok gigiku, mencukur kumis. Pulang dari Jumatan aku tak merasa lapar, tapi aku memaksakan diri ke warung mencari makanan. Perut kosong gampang membuat sakit.
Aku teringat sejumlah orang yang pernah melintas di kehidupanku. Aku sering berpikir menjadi mereka. Menjalani hari-hari yang mungkin berbeda.
Kamis, 08 Januari 2009
Suatu Malam Tanggal 30
Kurasa ini cerpen yang menarik. Simak deh
Seharusnya dia senang mendengar lelaki itu mau pulang malam ini. Dia memang telah merapikan seluruh ruangan: membereskan kamar, mengelap meja, mengepel lantai, membersihkan debu yang nempel di dinding dan baling-baling kipas angin, mengganti air di jembangan bunga, menyiapkan teh gula dan menyalakan dispenser. Tetapi tidak seperti biasanya semua itu dia kerjakan tanpa konsentrasi dan begitu gugup. Semua yang dikerjakannya terasa tidak sempurna sehingga dia harus berkali-kali mengulanginya.
Sama sekali dia tidak bisa santai membaca tabloid gosip atau nonton televisi sebagaimana dia lakukan setiap menunggu lelaki itu pulang. Tiap kali didengarnya deru motor lewat, jantungnya tertabuh lebih kencang. Beberapa kali dia bolak balik dari dapur ke ruang tengah, dari ruang tengah ke ruang tamu. Menyibak gorden, mengintip keluar. Lantas masuk kamar anak-anaknya yang sudah terlelap. Menatap satu persatu wajah mereka dengan gelisah. Dia tidak akan membangunkan mereka sekarang. Tapi nanti begitu lelaki itu datang.
Dia melangkah lagi ke dapur, berdiri di depan kulkas berlama-lama tanpa membukanya. Kalau sedang bosan dia suka berdiri di depan kulkas yang terbuka, mendengarkan desis mesin pendingin dan merasakan setiap pori kulitnya menggigil. Jam 12 malam. Biasanya lelaki itu datang jam 1 atau paling telat jam 2. Dia ingin waktu berhenti bergerak dan laki-laki itu tidak pernah datang.
Rasa kantuknya sama sekali hilang. Dia tidak bisa berbaring sambil tidur-tidur ayam di sofa ruang depan supaya bisa lekas bangun membuka pintu begitu mendengar langkah kaki lelaki itu mendekat gerbang. Padahal dia cukup lelah karena seharian sibuk beres-beres rumah, melayani pembeli dan belanja barang-barang untuk toko kecilnya. Biasanya walaupun laki-laki itu sudah mengabari mau pulang lewat sms, dia akan terlelap dengan mudah di sofa ruang depan. Lalu tergeragap bangun manakala terdengar bunyi gerendel pintu gerbang.
Menahan-nahan cemas yang meruyak di dadanya sekarang dia berdiri memandang ikan yang tengah menari-nari dalam akuarium mungil di sudut ruangan. Dia berharap pendar sinar lampu berwarna hijau dan ricik air serta oksigen yang berbentuk bulatan-bulatan kecil dalam air mampu sedikit meredakan ketegangan yang menelikung benaknya.
Tepat pada saat itu didengarnya gerendel pintu gerbang berderak. Jantungnya bagai mau melompat. Buru-buru dia menyibak gorden memastikan laki-laki itu yang datang. Sialan! Ternyata seekor kucing mengejar tikus got. Begitulah kucing kalau melihat daging, bisiknya menghibur diri. Dia mengendus-endus aroma pewangi ruangan yang tadi disemprotkannya. Aroma pewangi yang biasanya memberi ketenangan itu kali ini terasa mencekik penciuman.
Didengarnya deru motor berhenti di depan gerbang, suara roda mencecah kerikil. Dadanya kembali berdebar kencang. Dia tak menghiraukan, itu pasti tetangganya yang baru pulang. Tetapi kali ini dugaannya salah. Lelaki itu benar-benar datang. Lekas dia membuka pintu, berlari ke arah pintu gerbang. Di bawah lampu redup dilihatnya lelaki itu berdiri menunggu di depan pintu gerbang. Wajahnya kelihatan tampan dengan senyum mengembang.
“Anak-anak nggak kamu bangunin,” ujar lelaki itu, menatapnya lekat-lekat degan hasrat ingin segera bercumbu.
“Belum. Keretanya telat ya?” kata dia susah payah meredakan gugupnya. Untunglah lampu tidak terlalu terang sehingga ekspresi wajahnya tidak jelas kelihatan. Dia meraih tas lelaki itu, membawanya masuk. Meletakkannya di ruang tengah, lalu bergegas menuju kamar anak-anaknya untuk membangunkan mereka. Namun ketika tangannya mau meraih gagang pintu, laki-laki itu menahannya.
“Biarkan mereka tidur. Aku kangen kamu…” kata laki-laki itu.
Dia tersenyum, mencoba menghalau debar dadanya yang tak kunjung reda. Begitu saja tangannya meraih remote control dan telunjuknya memencet tombol on. Segera tampak siaran ulang pertandingan sepak bola di layar televisi. Dia lupa lelaki itu tidak pernah menyukai sepak bola. Secara bercanda lelaki itu pernah bilang, betapa absurdnya sepak bola. “Kenapa bola satu diperebutkan banyak orang. Kenapa tidak diberi saja satu bola masing-masing orang.”
“Bagaimana kalau satu gawang dimasuki oleh lebih dari satu bola?” bisiknya tiba-tiba. Dia sungguh heran mendapati dirinya melontarkan kalimat aneh itu. Untunglah lelaki itu tidak mendengar kalimat itu.
“Kenapa menyalakan televisi?” tanya lelaki itu.
“Kamu nontonlah dulu. Aku belum gosok gigi,” kilahnya, berlalu ke kamar mandi.
Dia keluar dari kamar mandi dengan debaran dada sedikit mereda. Laki-laki itu segera merangkulnya. Menciumi seluruh wajahnya secara bertubi-tubi. Lalu menatapnya dengan teliti setiap gurat pada raut mukanya. Dia memiliki bibir mungil yang seksi sekali. Hidung yang bangir dan sorot mata sayu yang membuat lelaki itu dengan mudah jatuh hati.
Dia mendorong pelan tubuh laki-laki itu. “Kenapa kamu pulang telat sekali,” ujarnya.
Sekarang tanggal 10. Setiap bulan biasanya lelaki itu pulang tanggal 30, paling telat tanggal 2 atau tanggal 3. Mentok-mentoknya tanggal 5. Begitulah, sepanjang 10 tahun perkawinan, lelaki itu hanya sepekan dalam setiap bulan bertemu istri dan anak-anaknya. Selebihnya dia bekerja dan tinggal di kota yang jaraknya ratusan kilometer dari kota kelahirannya. Ketika masih pacaran dan hendak menikah dia memang sudah menyepakati hal itu. Bagi dia ini resiko menikahi lelaki perantau. Lelaki itu bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang. Bosan. Lalu, pindah bekerja sebagai wartawan hiburan di sebuah mingguan gosip. Dan sekarang di kantor penerbitan.
Dia tidak pernah kerasan mengikuti lelaki itu hidup di kota besar. Pernah dicobanya, hanya bertahan sampai empat bulan. Setelah itu pulang bersama dua orang anaknya yang mulai masuk usia sekolah, dan tidak pernah lagi menghirup udara kota besar mengikuti lelaki itu.
“Kenapa kamu pulang telat sekali,” dia mengulangi pertanyaannya.
“Kan sudah aku jelaskan,” sahut lelaki itu, lirih, menyorongkan mulutnya ke telinga perempuan di depannya seperti ingin mengeremus daun telinga perempuan itu.
Dia mendorong tubuh lelaki itu.
“Kamu kenapa, Sayang?” kata lelaki itu, heran, “bukankah aku sudah jelaskan dan minta maaf tidak bisa pulang tanggal 30 karena ada pameran di luar kota?”
“Kamu selalu punya alasan,” ujar dia, bibirnya mulai bergetar.
“Ada apa denganmu? Aku kangen, Sayang, jangan kamu rusak sisa malam yang indah ini,” kata lelaki itu menahan hasrat bercumbunya yang hampir menggelegak tak tertahankan. Lelaki itu merenggangkan rangkulannya. Rasanya baru didengarnya perempuan itu melontarkan kalimat yang membuatnya tak mengerti selama 10 tahun perkawinan mereka.
“Mestinya kamu pulang tanggal 30,” ujar perempuan itu mulai terisak, menggeser tubuhnya, membuat jarak dari lelaki itu. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Membuat sisa malam yang hening dipenuhi rasa haru.
Ini sungguh di luar kebiasaan. Setiap pulang lelaki itu biasanya langsung menumpahkan kerinduannya bercumbu menghabiskan sisa malam sebelum anak-anak mereka terbangun seusai kumandang azan subuh mengalun dari masjid di ujung jalan. Kini hasratnya bercumbu menyurut bertukar dengan perasaan asing yang menjalar perlahan-lahan.
“Sayang, selama 10 tahun kamu tak pernah meragukan ucapanku seperti aku juga selalu mempercayaimu. Lalu kenapa sekarang terlontar kalimat itu?” suara lelaki itu terdengar parau, “ada apa ini, Sayang? Jelaskan supaya aku mengerti…”
Dia masih berdiri kaku dengan wajah menunduk. Ya, selama ini dia memang tak pernah meragukan lelaki itu mengkhianati kepercayaannya. Sangat percaya. Sikap ini dia pegang teguh bukan hanya supaya merasa lebih tenteram, melainkan memang begitulah sifat lelaki itu sepanjang yang dia ketahui. Dengan sikap seperti inilah usia perkawinannya sampai 10 tahun namun dengan kebersamaan kurang dari separuhnya bisa terus dijalaninya dengan lega dan tanpa beban.
“Bukankah kita sudah berjanji tidak mempercayai omongan orang lain?” laki-laki itu menatap perempuan yang dipacarinya sejak SMA itu dengan nanar.
“Mestinya kamu pulang tanggal 30,” bisik perempuan itu lagi, kalimat itu seakan terlontar di luar kesadarannya.
“Iya, tapi kenapa?” lelaki itu mulai histeris, lepas kontrol. Lupa anak-anaknya bisa terbangun.
“Benarkah kamu mau tahu jawabannya?”
“Tentu saja Sayang. Aku harus tahu apa penyebab semua ini.”
“Benarkah kamu akan siap dan baik-baik saja setelah mendengarnya?”
“Baiklah, kalau kamu pikir penjelasanmu akan membuat rusak malam indah ini. Kamu bisa menundanya sampai besok,” lelaki itu melunak, lalu merapatkan kembali rangkulannya. Hasratnya bercumbu mekar lagi. Lelaki itu mau mendaratkan bibirnya pada bibir perempuan itu, tetapi perempuan itu secara tidak terduga melengos dan mendorong tubuhnya.
“Tidak. Aku harus mengatakannya sekarang. Setelah itu aku siap menerima apa pun yang akan terjadi.”
Tangan lelaki itu yang semula merangkul mendadak terlepas. Menggantung hampa. Hidungnya seperti mencium sesuatu yang asing memenuhi udara pada sisa malam ini. Perasaannya mendadak berdesir menegaskan penciumannya.
“Seandainya kamu pulang tanggal 30 semua ini tidak akan terjadi,” katanya getir.
Lelaki itu mematung. Menatap ujung kaki sampai ujung rambut perempuan di hadapannya.
“Malam tanggal 30, Karmad, kawanmu, datang merayuku, membujukku. Sekuat daya aku mengelak. Sekuat daya pula dia merayu dan membujukku, membuatku tak mungkin menghindar lagi. Dia bilang kamu mengkhianati kepercayaanku. Kamu tahu, setiap tanggal 30 hasratku bercumbu selalu bergolak. Aku kalah, dia merenggut kesucianku…”
Usai menuturkan kalimat itu dia menangis keras sekali, jatuh tersujud di kaki lelaki itu.. Di luar embun beterjunan.
Setelah mematung sekian menit untuk meredakan gemuruh dadanya, lelaki itu merengkuh dan mengangkat pundak perempuan itu. Menelusupkan kepala perempuan itu ke dalam pelukannya.
“Aku mengerti keadaanmu. Malam tanggal 30 aku pun berkhianat padamu…”
Pondok Pinang, 22 Juli
Seharusnya dia senang mendengar lelaki itu mau pulang malam ini. Dia memang telah merapikan seluruh ruangan: membereskan kamar, mengelap meja, mengepel lantai, membersihkan debu yang nempel di dinding dan baling-baling kipas angin, mengganti air di jembangan bunga, menyiapkan teh gula dan menyalakan dispenser. Tetapi tidak seperti biasanya semua itu dia kerjakan tanpa konsentrasi dan begitu gugup. Semua yang dikerjakannya terasa tidak sempurna sehingga dia harus berkali-kali mengulanginya.
Sama sekali dia tidak bisa santai membaca tabloid gosip atau nonton televisi sebagaimana dia lakukan setiap menunggu lelaki itu pulang. Tiap kali didengarnya deru motor lewat, jantungnya tertabuh lebih kencang. Beberapa kali dia bolak balik dari dapur ke ruang tengah, dari ruang tengah ke ruang tamu. Menyibak gorden, mengintip keluar. Lantas masuk kamar anak-anaknya yang sudah terlelap. Menatap satu persatu wajah mereka dengan gelisah. Dia tidak akan membangunkan mereka sekarang. Tapi nanti begitu lelaki itu datang.
Dia melangkah lagi ke dapur, berdiri di depan kulkas berlama-lama tanpa membukanya. Kalau sedang bosan dia suka berdiri di depan kulkas yang terbuka, mendengarkan desis mesin pendingin dan merasakan setiap pori kulitnya menggigil. Jam 12 malam. Biasanya lelaki itu datang jam 1 atau paling telat jam 2. Dia ingin waktu berhenti bergerak dan laki-laki itu tidak pernah datang.
Rasa kantuknya sama sekali hilang. Dia tidak bisa berbaring sambil tidur-tidur ayam di sofa ruang depan supaya bisa lekas bangun membuka pintu begitu mendengar langkah kaki lelaki itu mendekat gerbang. Padahal dia cukup lelah karena seharian sibuk beres-beres rumah, melayani pembeli dan belanja barang-barang untuk toko kecilnya. Biasanya walaupun laki-laki itu sudah mengabari mau pulang lewat sms, dia akan terlelap dengan mudah di sofa ruang depan. Lalu tergeragap bangun manakala terdengar bunyi gerendel pintu gerbang.
Menahan-nahan cemas yang meruyak di dadanya sekarang dia berdiri memandang ikan yang tengah menari-nari dalam akuarium mungil di sudut ruangan. Dia berharap pendar sinar lampu berwarna hijau dan ricik air serta oksigen yang berbentuk bulatan-bulatan kecil dalam air mampu sedikit meredakan ketegangan yang menelikung benaknya.
Tepat pada saat itu didengarnya gerendel pintu gerbang berderak. Jantungnya bagai mau melompat. Buru-buru dia menyibak gorden memastikan laki-laki itu yang datang. Sialan! Ternyata seekor kucing mengejar tikus got. Begitulah kucing kalau melihat daging, bisiknya menghibur diri. Dia mengendus-endus aroma pewangi ruangan yang tadi disemprotkannya. Aroma pewangi yang biasanya memberi ketenangan itu kali ini terasa mencekik penciuman.
Didengarnya deru motor berhenti di depan gerbang, suara roda mencecah kerikil. Dadanya kembali berdebar kencang. Dia tak menghiraukan, itu pasti tetangganya yang baru pulang. Tetapi kali ini dugaannya salah. Lelaki itu benar-benar datang. Lekas dia membuka pintu, berlari ke arah pintu gerbang. Di bawah lampu redup dilihatnya lelaki itu berdiri menunggu di depan pintu gerbang. Wajahnya kelihatan tampan dengan senyum mengembang.
“Anak-anak nggak kamu bangunin,” ujar lelaki itu, menatapnya lekat-lekat degan hasrat ingin segera bercumbu.
“Belum. Keretanya telat ya?” kata dia susah payah meredakan gugupnya. Untunglah lampu tidak terlalu terang sehingga ekspresi wajahnya tidak jelas kelihatan. Dia meraih tas lelaki itu, membawanya masuk. Meletakkannya di ruang tengah, lalu bergegas menuju kamar anak-anaknya untuk membangunkan mereka. Namun ketika tangannya mau meraih gagang pintu, laki-laki itu menahannya.
“Biarkan mereka tidur. Aku kangen kamu…” kata laki-laki itu.
Dia tersenyum, mencoba menghalau debar dadanya yang tak kunjung reda. Begitu saja tangannya meraih remote control dan telunjuknya memencet tombol on. Segera tampak siaran ulang pertandingan sepak bola di layar televisi. Dia lupa lelaki itu tidak pernah menyukai sepak bola. Secara bercanda lelaki itu pernah bilang, betapa absurdnya sepak bola. “Kenapa bola satu diperebutkan banyak orang. Kenapa tidak diberi saja satu bola masing-masing orang.”
“Bagaimana kalau satu gawang dimasuki oleh lebih dari satu bola?” bisiknya tiba-tiba. Dia sungguh heran mendapati dirinya melontarkan kalimat aneh itu. Untunglah lelaki itu tidak mendengar kalimat itu.
“Kenapa menyalakan televisi?” tanya lelaki itu.
“Kamu nontonlah dulu. Aku belum gosok gigi,” kilahnya, berlalu ke kamar mandi.
Dia keluar dari kamar mandi dengan debaran dada sedikit mereda. Laki-laki itu segera merangkulnya. Menciumi seluruh wajahnya secara bertubi-tubi. Lalu menatapnya dengan teliti setiap gurat pada raut mukanya. Dia memiliki bibir mungil yang seksi sekali. Hidung yang bangir dan sorot mata sayu yang membuat lelaki itu dengan mudah jatuh hati.
Dia mendorong pelan tubuh laki-laki itu. “Kenapa kamu pulang telat sekali,” ujarnya.
Sekarang tanggal 10. Setiap bulan biasanya lelaki itu pulang tanggal 30, paling telat tanggal 2 atau tanggal 3. Mentok-mentoknya tanggal 5. Begitulah, sepanjang 10 tahun perkawinan, lelaki itu hanya sepekan dalam setiap bulan bertemu istri dan anak-anaknya. Selebihnya dia bekerja dan tinggal di kota yang jaraknya ratusan kilometer dari kota kelahirannya. Ketika masih pacaran dan hendak menikah dia memang sudah menyepakati hal itu. Bagi dia ini resiko menikahi lelaki perantau. Lelaki itu bekerja di sebuah perusahaan pengiriman barang. Bosan. Lalu, pindah bekerja sebagai wartawan hiburan di sebuah mingguan gosip. Dan sekarang di kantor penerbitan.
Dia tidak pernah kerasan mengikuti lelaki itu hidup di kota besar. Pernah dicobanya, hanya bertahan sampai empat bulan. Setelah itu pulang bersama dua orang anaknya yang mulai masuk usia sekolah, dan tidak pernah lagi menghirup udara kota besar mengikuti lelaki itu.
“Kenapa kamu pulang telat sekali,” dia mengulangi pertanyaannya.
“Kan sudah aku jelaskan,” sahut lelaki itu, lirih, menyorongkan mulutnya ke telinga perempuan di depannya seperti ingin mengeremus daun telinga perempuan itu.
Dia mendorong tubuh lelaki itu.
“Kamu kenapa, Sayang?” kata lelaki itu, heran, “bukankah aku sudah jelaskan dan minta maaf tidak bisa pulang tanggal 30 karena ada pameran di luar kota?”
“Kamu selalu punya alasan,” ujar dia, bibirnya mulai bergetar.
“Ada apa denganmu? Aku kangen, Sayang, jangan kamu rusak sisa malam yang indah ini,” kata lelaki itu menahan hasrat bercumbunya yang hampir menggelegak tak tertahankan. Lelaki itu merenggangkan rangkulannya. Rasanya baru didengarnya perempuan itu melontarkan kalimat yang membuatnya tak mengerti selama 10 tahun perkawinan mereka.
“Mestinya kamu pulang tanggal 30,” ujar perempuan itu mulai terisak, menggeser tubuhnya, membuat jarak dari lelaki itu. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Membuat sisa malam yang hening dipenuhi rasa haru.
Ini sungguh di luar kebiasaan. Setiap pulang lelaki itu biasanya langsung menumpahkan kerinduannya bercumbu menghabiskan sisa malam sebelum anak-anak mereka terbangun seusai kumandang azan subuh mengalun dari masjid di ujung jalan. Kini hasratnya bercumbu menyurut bertukar dengan perasaan asing yang menjalar perlahan-lahan.
“Sayang, selama 10 tahun kamu tak pernah meragukan ucapanku seperti aku juga selalu mempercayaimu. Lalu kenapa sekarang terlontar kalimat itu?” suara lelaki itu terdengar parau, “ada apa ini, Sayang? Jelaskan supaya aku mengerti…”
Dia masih berdiri kaku dengan wajah menunduk. Ya, selama ini dia memang tak pernah meragukan lelaki itu mengkhianati kepercayaannya. Sangat percaya. Sikap ini dia pegang teguh bukan hanya supaya merasa lebih tenteram, melainkan memang begitulah sifat lelaki itu sepanjang yang dia ketahui. Dengan sikap seperti inilah usia perkawinannya sampai 10 tahun namun dengan kebersamaan kurang dari separuhnya bisa terus dijalaninya dengan lega dan tanpa beban.
“Bukankah kita sudah berjanji tidak mempercayai omongan orang lain?” laki-laki itu menatap perempuan yang dipacarinya sejak SMA itu dengan nanar.
“Mestinya kamu pulang tanggal 30,” bisik perempuan itu lagi, kalimat itu seakan terlontar di luar kesadarannya.
“Iya, tapi kenapa?” lelaki itu mulai histeris, lepas kontrol. Lupa anak-anaknya bisa terbangun.
“Benarkah kamu mau tahu jawabannya?”
“Tentu saja Sayang. Aku harus tahu apa penyebab semua ini.”
“Benarkah kamu akan siap dan baik-baik saja setelah mendengarnya?”
“Baiklah, kalau kamu pikir penjelasanmu akan membuat rusak malam indah ini. Kamu bisa menundanya sampai besok,” lelaki itu melunak, lalu merapatkan kembali rangkulannya. Hasratnya bercumbu mekar lagi. Lelaki itu mau mendaratkan bibirnya pada bibir perempuan itu, tetapi perempuan itu secara tidak terduga melengos dan mendorong tubuhnya.
“Tidak. Aku harus mengatakannya sekarang. Setelah itu aku siap menerima apa pun yang akan terjadi.”
Tangan lelaki itu yang semula merangkul mendadak terlepas. Menggantung hampa. Hidungnya seperti mencium sesuatu yang asing memenuhi udara pada sisa malam ini. Perasaannya mendadak berdesir menegaskan penciumannya.
“Seandainya kamu pulang tanggal 30 semua ini tidak akan terjadi,” katanya getir.
Lelaki itu mematung. Menatap ujung kaki sampai ujung rambut perempuan di hadapannya.
“Malam tanggal 30, Karmad, kawanmu, datang merayuku, membujukku. Sekuat daya aku mengelak. Sekuat daya pula dia merayu dan membujukku, membuatku tak mungkin menghindar lagi. Dia bilang kamu mengkhianati kepercayaanku. Kamu tahu, setiap tanggal 30 hasratku bercumbu selalu bergolak. Aku kalah, dia merenggut kesucianku…”
Usai menuturkan kalimat itu dia menangis keras sekali, jatuh tersujud di kaki lelaki itu.. Di luar embun beterjunan.
Setelah mematung sekian menit untuk meredakan gemuruh dadanya, lelaki itu merengkuh dan mengangkat pundak perempuan itu. Menelusupkan kepala perempuan itu ke dalam pelukannya.
“Aku mengerti keadaanmu. Malam tanggal 30 aku pun berkhianat padamu…”
Pondok Pinang, 22 Juli
Langganan:
Postingan (Atom)