Senin, 10 Mei 2010
Pencarian Gila Bocah Ateis
Apakah yang akan kita lakukan sebagai bukti cinta untuk orang terdekat ketika ia meninggal? Mungkin kita akan mengerjakan pesan-pesan yang diwasiatkan kendati bisa saja hal tersebut tidak berguna bagi si pemberi wasiat. Untuk persoalan satu ini biasanya orang terpaksa mengabaikan pertanyaan, berguna atau sia-siakah langkah yang dilakukan? Perkara berguna atau sia-sia, akhirnya memang relatif karena tidak ada ukuran yang sama bagi setiap orang untuk men-just suatu tindakan sebagai berguna atau sebaliknya.
Pertanyaan ini agaknya yang ingin didedahkan Jonathan Safran Foer, pengarang dan seorang aktor Holywood, melalui novel keduanya Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring dan Sungguh-Sungguh Dekat). Oskar Schell, bocah berusia 9 tahun tokoh sentral novel ini, terobsesi membuktikan kecintaannya pada sang ayah Thomas Schell, yang tewas pada peristiwa kehancuran menara kembar World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat, atau yang dikenal sebagai peristiwa 9/11. Oskar melakukan sesuatu yang bagi nalar umum sangat konyol. Kelakuan konyol ini dimulai ketika ia secara tidak sengaja menemukan sebuah anak kunci dan catatan berisi wasiat, setahun setelah kematian ayahnya.
Bocah ateis itu menjelajahi kelima sektor New York (Manhattan, Brooklyn, Queens, Staten Island, dan Bronx) demi mencari lubang kunci yang pas bagi anak kunci yang ditemukannya. Dalam perhitungannya sendiri, ada satu anak kunci lahir setiap 2,777 detik. Dalam pencarian ini Oskar terlibat langsung dalam kemelut kehidupan orang-orang yang tak dikenalnya. Bagi pembaca Indonesia, petualangan Oskar ini jadi bisa lubang untuk mengintip kehidupan masyarakat kota kosmopolitan New York.
Oskar merupakan potret bocah jenius yang lahir dan tumbuh di belantara New York yang super sibuk. Kejeniusan seringkali memang sulit dibedakan dari kegilaan. Kepalanya selalu dipenuhi hasrat mencoba dan mengetahui segala hal. Jangan pernah coba-coba membuat cerita tak masuk akal di hadapan bocah jenis ini. Kau bisa dibikin keki dan malu sendiri. Apapun yang dilihatnya selalu memunculkan keheranan dan pertanyaan kenapa semua bisa terjadi. Mulai dari pertanyaan mendasar yang sangat filosofis, kenapa alam semesta tercipta dan manusia ada? Oskar menampik ketika sang ayah menjelaskan bahwa bayi lahir karena pertemuan sel sperma dengan sel telur. Karena bagi Oskar, itu jawaban untuk pertanyaan ‘bagaimana’ bukan ‘kenapa’ manusia lahir?
Kecerdasan yang luar biasa bocah ateis ini tak pelak kemudian melahirkan pola hubungan orangtua-anak yang unik. Kesejajaran orang tua dan anak yang di negeri seliberal Amerika sekalipun terlihat tidak lumrah. Oskar gemar mengkritik perilaku ibunya dalam hal berpacaran.
Dari kecerdasan semacam itu pula muncul gagasan-gagasan gila yang ditawarkan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi masyarakat modern. Misalkan membuat makam bersusun ke atas untuk mengatasi lahan yang tak pernah bertambah luas sementara manusia terus berlahiran. Taburan pertanyaan filosofis menjadikan novel bertema inti tentang pencarian jati diri seorang pra-remaja Oskar Schell, sangat merangsang petualangan pikiran.
Secara sepintas novel ini juga menyinggung perihal trauma dan kebencian pada ras tertentu sebagai dampak dari peristiwa 9/11 yang kemudian hari memicu isu terorisme internasional.
Penyajian novel ini terlihat unik. Bukan karena alur bergerak melalui tiga penutur—baik dalam bentuk surat, transkrip wawancara, maupun tuturan langsung—, melainkan menggabungkan teks dengan unsur visual yang memperkuat teks. Pembaca akan menjumpai halaman-halaman kosong, memburam, lalu hitam sepenuhnya. Juga foto-foto dan coretan-coretan dengan tinta aneka warna yang selintas mengesankan novel ini sedang dalam proses pengeditan atau bahkan mengalami kecelakaan cetak. Gaya serupa ini waktu pertama kali muncul di Amerika melalui novel pertama Jonathan Everything Is Illuminated (2002) cukup mengundang kontroversi. Saat ini tentu saja gaya seperti ini sudah tidak lagi memberikan kesegaran. Dalam sastra Indonesia, jauh-jauh hari Danarto telah melakukannya melalui kumpulan cerpen Adam Ma’rifat.
Kuatnya unsur visual ini menjadi tantangan tak ringan ketika novel ini diterjemahkan kepada bahasa lain. Tapi syukurlah penerjemahan novel ini ke dalam bahasa Indonesia dikerjakan dengan cukup baik.
Judul buku : Extremely Loud & Incredibly Close (Benar-Benar Nyaring
dan Sungguh-Sungguh Dekat)
Penulis : Jonathan Safran Foer
Penerjemah : Antie Nugrahani
Penerbit : Mahda Books
Cetakan : I, Maret 2010
Tebal : 430 hlm
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar